Candabirawa: Perang Robot


Candabirawa karya akbar
Mahacendekiawan raksasa
Budaya abad Biorobotika

FUTURE SHOW--Buku pakem pewayangan masadepan mulai ditayangkan oleh ki dalangmaya. Berbeda dari Future Shock karya Alvin Toffler, Future Show adalah karya eksperimentasi rekacipta dialektis dari ilmu dan ngelmu. Bentuk kemanunggalan dialektis dari rasio dan rasa: harmoni budaya Barat dan Timur. Memang, ki dalang bukan futurolog, tapi futuris perambah dimensi en avant vu. --"Nah, inilah gaya pencitraan + penceritaan + pencaturan Ki Harsono Siswocarito dalam kilas pentas masadepan."--Lihatlah:

Kelir hitam
Tabir malam

"Move!"
(Clap!)--"Awas!"
(Dor!)--"Aauukkhh!"
"Hmh, maju!"
"Tembak!"
(Klik!)--"Sial! Habis!"

Bunyi lenyap
Sunyi senyap

(Wut! Jleg!)--"Hati-hati! Awasi garis depan!"
"Siap!"--(Wuz! Leb!)--"Aman!"
"Laser, Let!"
"Siap!"
"Sabot kabel fiber optic ini--cepat!"
(Zzsstz!)--"Beres!"


NAKULA: Nah, putus sudah saluran informasi Mabes Bulupitu dengan Lab Biorobotika di Mandraka. Ayo kita sergap Jendral Salya!"

SADEWA: Tunggu, Kapten Nakula--gemana dengan intelsat Astina?

NAKULA: Lho, apa kau lupa, Letkol Sadewa? Pangkalan militer angkasa luar dan piranti star-war Astina sudah amburadul semasa Marsekal Gatotkaca menjabat panglima perang bintang.

SADEWA: O ya, baiklah. C'mon!

Kedua perwira utama dari Divisi Bumiretawu dan Divisi Sawojajar itu cepat kebat menuju Mandraka demi tugas mencari kunci rahasia Biorobotika. Tanpa menguasai kunci rahasia itu mustahil Amarta bisa menaklukan Brigade Biorobotika Candabirawa di bawah komando Panglima Jendral Salya.

Salya taparekayasa
Di Lab Biorobotika

MANDRAKA.--Jendral Salya larut hanyut dalam riset, menyempurnakan eksperimen biorobotika termutakir yang paling akhir. Biorobot Penumpas Pamungkas! Warisan budaya biorobotika dari Prof Dr Bagaspati itu memang luarbiasa. Artificial intelligence, kunci kesuksesan robotika, kini telah dilengkapi dengan artificial intuition kunci kesuksesan biorobotika. Prof Dr Bagaspati telah mewariskan dasar-dasar deformasi silico-logicus menjadi biosilico-logicus. Itulah Biorobotika Candabirawa. Menakjubkan, sekaligus mengerikan! Dan oleh Jendral Salya, Brigade Biorobotika Candabirawa siap dipasok ke neraka Kurusetra.

Begitu riset paripurna, Jendral Salya segera kontak Mabes Bulupitu. Ia kaget-roket karena seluruh saluran informasi terputus. Dengan marah-merah ia membanting videophone. Lalu terburu ia menuruni gedung pencakar langit Lab Biorobotika itu. Begitu menginjak lantai bawah, ia disergap oleh Kapten Nakula dan Letkol Sadewa.

SADEWA: Jangan bergerak! Kita selesaikan masalah perang!

SALYA: Soal perang? Ini bukan tempatnya! Perang soal medan tempur, bukan laborat!

NAKULA: Benar, Jendral, tapi Lab Biorobotika ini jadi sumber malpraktek iptek terdahyat dalam peradaban manusia masadepan ini. Kurusetra bukan lagi arena uji-aji demi kebenaran dan keadilan, namun ajang pemusnahan manusia. Biorobotika menjebak manusia jadi budak dan bidak mangsa ciptaannya. Daripada mampus-pupus dibantai ciptaan, lebih baik mati demi Tuhan!

SALYA: Hmh, lalu apa maumu?

SADEWA: Lihatlah destruction-button ini!

NAKULA: Nah, pilih mati sampyuh, atau serahkan kunci formula rahasia Biorobotika Candabirawa?

SALYA: Licik-picik kau keparat! Kau kira kau mampu menandingi kepakaranku? Hua-ha-ha-ha… ambilah! Nah, sampai jumpa di Kurusetra!

Begitu mendapat kunci rahasia Biorobotika Candabirawa, Kapten Nakula dan Letkol Sadewa sekejap lenyap terlahap gelap. Jendral Salya terbeliak menahan gejolak. Demi meredakan nafsunya, segera ia menuju bar. Dan tak lama ia sudah terkulai lunglai di atas bed Setyawati, mempermainkan bom.

Dalam pelukan wanita
Tumpahlah segalanya

--XXX--
"Lho?"
"O!"


Menjelang fajar, Setyawati tergelepar. Jendral Salya meletakkan sci-fi doll di sisi istrinya, yang bisa berkata, "O Dear, let me go to a biorobotic sci-fi war!" Setelah memotong pakaian malam, segera ia salin busana tempur. Lalu terburu ia menuju Bulupitu.

Beda peristiwa
Tunggal cerita
--F = N2C

LAB BIOART, AMARTA.--Pandawa berhasil mendeformasikan kunci rahasia Biorobotika Candabirawa dalam Lab Bioart, sehingga dari deformasi artificial intuition mahluk biosilico-logicus itu terbentuk tiga formasi baru: biosilico-estheticus, biosilico-ethicus, dan biosilico-mysticus. Dari ketiga formasi itu tercipta biorobot Arsoid, Ethicoid, dan Deusoid: ras biorobot yang memiliki rasio dan rasa. Sungguh luarbiasa! Lab Bioart berhasil memproduksi biorobot jenius yang peka terhadap kebenaran, keindahan, kebaikan, dan kemukzizatan. Jendral Darmakesuma, pakar tapa-rekacipta dalam Lab Bioart itu, segera membawa Deusoid. Mahluk biosilico-deus itu siap menjadi penyelamat umat dalam ajang-perang The Last World War Baratayuda.

DARMAKESUMA: Nah, kukira Deusoid yang mampu menandingi Candabirawa. Bagaimana keadaan Kurusetra?

KRESNA: Gawat, Jendral! Setiap orang bilang, "Brigade Biorobotika Candabirawa bersimaharajalela kian berlipat ganda!" Gitu kan, Jendral Bima?

BIMA: Benar, Jendral! Amarta terpaksa mundur-tempur kerna segala senjata tak mampu melebur-hancur Biorobotika Candabirawa. Daya-bantai mahluk biosilico-logicus itu amat laknat keparat! Sungguh jahanam-kejam!

DARMAKESUMA: Lantas strategi apa yang tepat diperbuat demi keselamatan umat?

KRESNA: Letakkan segala senjata! Dan gunakan pakaian anti-biorobotika.

"Tepat! Senjata = bencana! Apa artinya? Lihat--bumi retak, ozon terkoyak, petaka semesta tersibak!"

Nature + Culture - Nurture = No Future

"O Brahmadharmavisnu!"
"Future is the triad of nature-culture-nurture!"


DARMAKESUMA: Baiklah, back to nurture. Kita musnah-punahkan Biorobotika Candabirawa. Ayo ke Kurusetra!

"Siap laksanakan!"


Perang Biorobotika
Hilang Ras Manusia

KURUSETRA.--Sci-fi war!

"Dur, Cit, Karta--liat HDTV: Biorobotika Candabirawa yang perang, kan kita tinggal ongkang-ongkang. Kurawa jelas menang!"

HDTV: (Nampak--raksasa-raksasa berotak-komputer, bermata-parabola, bertelinga-radar, berambut-laser, bergigi-misil, bertangan-rudal, berjari-nuklir, berbadan-amunisi, berparu-mesiu, berkaki-panser--bergerak mekanis-programis-katastropis!)

"Surrealisme kontemporer!"
"Superrealisme!"


(Duduk Jendral Salya + pemijat + minuman--layar detector--tombol-tombol teleinstructor--peta pembantaian Kurusetra--sinyal--0987654321--)

Faulkner: "When will I be blown up?"
"As it's so!"


(Jendral Salya terlonjak-teriak, "Deusoid?!"--Supersensory + artificial intuition detector: F = N2C--Biorobotika Candabirawa 1/1 raib-ajaib!)

"Adidaya tanpa senjata!"

SALYA: Hmh, keparat! Siapa kau?

DEUSOID: Aku Deusoid.

SALYA: O, my God! Dikaukah Batara Dharma?

Bacon: "Idols of the Mind!"


DEUSOID: O, Salya--kupaslah Idols of the Sign, lepaslah Idols of the Soul. Baru kau tahu aku!

SALYA: Ilmu Kalimasada!

(Darmakesuma datang--Candabirawa hilang--Darmakesuma menang!)

Manusia tuan bagi ciptaan
Bukan budak maupun korban
Bukan Tuhan maupun setan!

"Biorobotika lebur!"
"Salya gugur!"
"Hidup Darmakesuma!"


Kelir putih
Tabir kasih

:--"Nah, itulah kilas-pentas. Ada dan Tiada sama utama. Harap ki dalangmaya, maaflah tentunya--sampai sua!"












Ki Harsono Siswocarito
Semarang, 14-20 Maret 1990


::Lakonet dalam edisi khusus Bahasa Indonesia juga dimuat di http://lakonetindonesia.blogspot.com

Selengkapnya....

Sang Seta Panglima Amarta



Tanah merah Darah
Langit merah Agni


KURUSETRA--Membara! Gelegar-kobar, baku-bom, baku-tembak, baku-bantai jadi tanda keberadaan Bharatayudha. Hembus-maut dan nafas-tewas memaharajalela. Neraka Kurusetra tak kenal kompromi sama sekali. Seram-kejam menyaingi jahanam!

Di garis depan, Kolonel Wratsangka berhasil menggempur mundur pasukan Kurawa. Kemudian ia mengibarkan bendera Amarta di tengah medan Kurusetra.

ARDAWALIKA: Tak salah lagi, si pengibar bendera di tengah medan Kurusetra itu pasti si keparat Arjuna. Inilah saat-tepat buat membunuh si Arjuna demi dendam. Akan kuhujani bom atom--mampus-pupus kau keparat!

"Awas! Pesawat tempur gelap!"
"Bom--tiaraaap!"

(GELEGAR!)

"O, my God!"
"Wratsangka gugur!"

ARDAWALIKA: Hah? Wratsangka? Sial-dangkal! Salah ngebom. Celaka--aku mesti cepat minggat cari selamat!

"Tembak-jatuh! Aduh keburu jauh!"
"Cepat kontek Kapten Utara!"
"Siap!"

Berita kematian Kolonel Wratsangka di garis depan benar-benar membakar-kobar keperwiraan Kapten Utara.

UTARA: Biadab! Aku mesti membalas kematian Wratsangka.

Hutang maut ditebus maut
Hutang nyawa bayar nyawa

"Hutang kolonel bayar kopral!"
"Hush! Itu belum lunas-pas!"

UTARA: Bangsat Kurawa, terimalah pembalasanku.

"Welah, Kapten Utara membabi-buta!"
"Cepat lempar granat!"--(Pluk!)
"Busyet, mejen, Dur!"

BISMA: Awas, Utara--jangan tanya dosa! Rasakan senjata laser ganas-panas ini.

(ZOZZZ!)
"Utara gugur! Utara mati! Utara mampus!"
"Duh, Gusti! Piye, Truk?"
"Lapor ke markas, Gong!"
"Gawat tuh! Yo lari!"

MARKAS RANDUGUMBALA, AMARTA.--Gempar! Berita tentang tertumpas-tampisnya pasukan mancanegara dari Wirata membuat para pembesar Pandawa kecut-hati. Ternyata pasukan Kurawa di bawah komando Panglima Jendral Bisma sungguh tangguhplusampuh! Para pakar Amarta segera mengangkat panglima tandingan. Pilihan jatuh kepada Jendral Seta, mahapakar strategi tempur pamungkas dari Wirata.

YUDISTIRA: Selamat bertugas, Jendral Seta.

SETA: Siap laksanakan!

KRESNA: Marsekal Gatotkaca--kawal keberangkatan Bapak Panglima!

GATOTKACA: Siap laksanakan!

Cepat-kebat pesawat-tempur Krincingwesi melesat ke udara. Segera Panglima Seta diterjunkan ke medan perang.

FRONT KURUSETRA.--Kehadiran bantuan pasukan Wirata beserta Panglima Seta mempertangguh kekuatan tempur Amarta. Sementara itu di pihak Astina belum dipasok pasukan baru. Jendral Seta tidak mensia-siakan kesempatan itu. Dengan mudah pasukan Amarta menggempur-lebur pasukan Kurawa.

SETA: Hmh, Bisma, akulah tandinganmu! Kau harus menebus kematian dua panglima Wirata. Hadapilah Seta, Panglima Pamungkas dari Wirata ini!

"Gempur-mundur!"

Cepat-minggat
Bisma ngabur
Mundur-tempur

BISMA: Edan! Si Seta sungguh setan!

"Mana mampu kita menangkis si Seta setan itu!"
"Cepat cari selamat, Let!"
"Jangan nekad, Citraksi!"
"Dur, mundur!"

SETA: Hua-ha-ha… Bisma mundur-kabur! Mana kehebatanmu, Bisma? Jangan sambat teraniaya! Mau lari ke mana, Bisma?

"Wah, Bisma melompat blabar kawat!"
"Sikat granat!"
(BLAAAR!)
"Tumpas-kandas dah Kurawa!"

SETA: Hmh, tak ada seorang Kurawa pun yang berani memasuki Kurusetra. Medan tempur ini mutlak berada dalam kekuasaanku.

Suasana terang-tenang
Situasi hening-bening

"Asyik, gue mau ngumpulin rongsokan tank ah."
"Juragan besi-tua ya, Oom?"
"O, bukan! Gue laskar pemulung."
"Eh, Kang, buat apa sih ngurusi barang
sisa perang?"
"O, lumayan bisa didaur--(Dor!)--eh!"
"Gawat! Ada penembak
gelap!"
"Awas tiarap!"
(Dor!)

SETA: Hmh? Penembak gelap! Dari mana, ya? Aneh--tak tampak.

(Dor!)
SETA: Hai pengecut! Perlihatkan dirimu jika mau benar-benar kesatria. Tandingilah Seta.

(Dor!)
SETA: E-eh keparat! Si pengecut itu perlu dipecundangi. Aku akan pura-pura mati, agar dia keluar dari persembunyiannya.

(Dor!)
"Seta gugur! Seta mampus!"
"Seta mati di-dor petrus!"
"Perang isu nih?"
"Sst, rahasia!"
"Eh, Pral, mau-tau? Asal jangan omong-omong. Seta dipetrus Letnan Rukma!"
"Hidup Rukma! Pf, pahlawan Kurawa!"

RUKMA: Ha-ha-ha… inilah Rukma sang pahlawan! Satria pilih tanding! Mana nama besar si Seta itu? Cuih--omong-kosong! Ayo datangkan semua kekuatan tempur Amarta, pasti kugilas-kandas pake invisible-tank ini.

SETA: Hua-ha-ha… dasar mulut-besar! Rukmaa-Rukma, kau kira aku tak punya otak untuk menyiasati kelicikanmu itu? Rasakan senjata buas-ganas ini!

(Leb-Der!)

"Rukma mampus! Rukma mati-konyol!"
"Hidup Panglima Amarta! Hidup Seta!"
"Seta! Seta! Seta!"

BISMA: Heh, Seta, jangan keburu bangga! Kau pasti mampus-hangus kena senjata laser ini. Rasakan, Seta!

(ZOZZZ!)
SETA: Aaakkkhhh!!!

Takdir tak terpungkir
Qadar tiada terhindar

"Seta, o, Seta… Gusti!"
"Seta gugur! Seta gugur!"

BISMA: Ha-ha-ha… Seta tewas juga akhirnya. Tak akan ada yang mampu tanding-jurit denganku!

"Horreee… Seta mampus!"
"Mampus! Mampus! Mampus!"
"Hidup Bisma!"
"Bisma! Bisma! Bisma!"

Hakekat semesta kata
Mengada dan meniada


Ki Harsono Siswocarito
Semarang, 22-28 November 1989

Selengkapnya....

Panglima Wanita di Kurusetra




Sia-sia duka-derita
Meratapi yang tiada


MARKAS RANDUGUMBALA, AMARTA.--Pasukan Multinasional Wirata tumpas-kandas di neraka Kurusetra. Matswapati, Presiden Wirata, geram-dendam! Tapi apa daya, ia jago tua. Demi jaga wibawa, ia gegas-bablas menuju markas. Pandawa sedang mengadakan rapat-kilat.

DARMAKUSUMA: Para Pembesar Pandawa--kita perlu menyusun strategi dan mengangkat panglima baru demi menandingi pasukan Multimodern Kurawa yang dipimpin Jendral Bisma. Begitu kan, Jendral Kresna?

KRESNA: Benar! Kiranya tiada yang mampu menggempur-hancur Jendral Bisma kecuali Kolonel Srikandi. Kelemahan panglima itu ada di tangan wanita. Nah, apakah Jendral Arjuna tak keberatan?

ARJUNA: Tidak! Tapi apa tak salah-angkat? Amarta masih banyak memiliki perwira tinggi. Kenapa memilih wanita untuk menjabat panglima?

KRESNA: Memang, Jendral Arjuna--tapi kita perlu cara lain. Amarta kalah karena terlalu mengandalkan strategi dan teknologi tempur. Padahal strategi dan teknologi tempur Jendral Bisma jauh lebih tangguh-ampuh tanpa kelemahan sama sekali. Satu-satunya cara untuk menemukan kelemahan Jendral Bisma hanyalah dengan meneliti biografinya, teristimewa dalam "Kisah Dewi Amba". Di situlah terletak tragic aspect manusia Bisma. Dan wanita lebih mampu menguasai kekuatan makna-batin kisah itu.

BIMA: Waaah, gak nalar! Mana bisa sastra dijadikan tandingan teori-strategi perang!

NAKULA: Kenapa tidak? Jika diambil secara tepat dan jitu, inspirasi bisa lebih hebat-dahsyat daripada teori maupun strategi.

SADEWA: Mungkin! Lagipula negeri ini anti diskriminasi. Divisi Sawojajar setuju terhadap pengangkatan panglima wanita.

BIMA: Baik! Divisi Jodipati juga setuju!

DARMAKUSUMA: Saya harap permusyawaratan mencapai mufakat-bulat. Sebab tanpa kemufakatan, mana bisa terlaksana kesatuan tindakan. Dan bagaimana menurut Ki Lurah Semar?


"Sip, Mo. Usulkan aku jadi panglima."
"Huh, sok aje lu, Kang!"
"Demi bela-bakti lho, Truk."
"Bela-bakti atau pangkat?"
"Jadi hansip aja gak becus!"
"Sok pahlawan!"
"Sssh, usah ribut, Le!"
"Ya, Mo!"


SEMAR: Matur nuwun, saya percaya pada kebijakan-kebajikan para pemimpin. Ya, monggo kerso sajalah.

"Payah! Gak nyuaraken nurani rakyat."
"Sst! Loyalitas, Kang!"
(Zzzz!)
"Eh, suara apa, Truk?"
"Bagong ngorok--"
"Dwasar!"
"Diam, Le!"
DARMAKUSUMA: Terima kasih, Ki Lurah. Baiklah, tampaknya kita sepakat untuk mengangkat Kolonel Srikandi menjabat panglima. Dan rapat selesai.


(Tok! Tok! Tok!)

"Excuse me, Sir. Can you tell me about--"
"No! Scat!"
"Op de rekord, Mistuh!"
"Siapa sih, Gong?"
"Isuis-luar, nyasar!"
"He-he, yo-ah ke garis depan!"
(Kriiing… klek!)--"Hello, siapa?… O, Mas Gatot… Di sini Sri! Ada berita penting?… Oke, Brigade Jane d'Ark Madukara siap menuju Kurusetra!… Ya, Merdeka!"--(Klek!)


Mabuk, usah sibuk
Mabuk, usah sibuk
Mabuk, usah sibuk

MARKAS BULUPITU, ASTINA.--Kurawa berpestaria merayakan kemenangannya. Minum-minum sampai ambruk-mabuk! Anak muda bilang: "Teller!" Melihat anak-buahnya jatuh-disiplin begitu rupa, Jendral Bisma kecewa-berat. Memang, kemenangan bisa memabukkan!


"O ciu kehidupan!"
(Gluk! Gluk!)--"Aahh…."
"Vodka. O dansa Mazurka!"
(Pluf!)--"Minum, Dur! Selamat--" (Ting!)
"O Mbodrooo-mBodro, sini, Yang… esok Arjuna kan kupanggang! K-kau k-kan k-kuberi s-suaka… hooeekh!"


CITRAYUDA: Huh! Mabuk-kampungan!

DURSASANA: Lempar aja ke got, biar minum comberan!

DURMAGATI: Eh, zangan--kazihan! Kazih racun aza zekaliguz biar mampuz!



"Oh, Rukma, k-kau m-mati? B-biarlah, k-kau pahlawan yang ter--"
"Konyol!"


Jendral Bisma keluar dari markas. Ia tak tahan melihat kondisi pasukan! Apa artinya kemutakhiran strategi dan teknologi perang jika para serdadu jatuh-lumpuh mati-disiplin? Sia-sia!


"Ada apa, Pral?"
"Lapor! Pandawa memberi upeti wanita!"
"Lho! Aziiik!"
"Cihuy, yuk ah ke Kurusetra!"
(Prok! Prok! Prok!)--"Hey Dur, Cit, Karta! Ayo ke front!"


BISMA: Hai pasukan! Buang botol-botol setan itu! Pandawa menyerbu!


"S-siaaap!"


BISMA: Apa boleh buat! Pasukan-mabuk ini terpaksa kugiring ke medan tempur.

Mabuk-tempur!
Babak-belur!

Do not weep
War is kind


"Gue mau liat perang, Tante."
"Jangan, Sanjaya! Entar kena rudal nyasar!"
"Enggak, Tante Kunti--ada kelir Anti Nuklir."
"Ngaco! Papi marah lho!"
"Biarin, yo-ah, Tante."
"Widura! Widura! Anakmu nekat minggat ke Kurusetra!"
"Biar, Mbakyu. Siapa tau jadi wartawan perang?"


KURUSETRA.--Pinggiran!


"Nonton di sini aja."
"Iya deh!"

Tam-tratamtam-tam-tam!
Bass drum berdentam!


"Hidup Bisma! Hidup Kurawa!"
"Hinup Ngurawa! Ngemarin angu mengang naruhan nerong-- hinup Muna Nerong!"
"Gong, kepruk-remuk aja tuh botoh Kurawa!"
"Plintheng ae, Truk!"
"Ini batunya."
(Cpret!)--"Hinup--(Plethak!)--anuh! Menyut ngunulngu!"
"He-he-he…!"
"Rokok-rokok, premen Menthos, tisu Getsby! Tisu, Oom--anti-hamil?"
"Gak gah!"
"Ese es! Es berasap!"
"Koran-koran! Berita panas--KURUSERTA MEMBARA. Tempur konyol di Kurusetra, ya, koran-koran!"
"Teloor, telor manis!"
(Jreng!)--"Ya, Sodara-sodara, met jumpa dan izinkanlah menghibur Anda!"--(Jreng!)
"Maaas, paring kula nyuwun, eMaaas!"--(Klotrak!)
(Cplek!)--"Sip! Gue jagoin Pandawa! Apa taruhannya?"
"Bojoku!"
"Ngapain! Tuwek-jelek!"
"Ngece-kere!"
(Tet-treteeet!)
"Ngentut, Oom?"
"Terompet bego!"
"Brengsek! Pindah ah!"
"Jeile itu barisan cewek--mau perang apa renang?"
"Sst! Tempur di kasur!"
"Hush! Ngawur!"


Dalam pada itu Brigade Jane d'Ark Madukara menjebol-ambrol pasukan Kurawa. Dan konyolnya, serdadu Kurawa menyambut serangan itu persis seperti sama istri.



"O, come, Darling!"
"Darling-darling nje--(Dor!)--gundulmu!"
"Eladalah! Teja-teja sulaksana, tejanira wong anyar katon, ing wingking pundi pinoko, ing ngajeng--"
(Dor!)--"Kesuwen!"
"Habisin aja, Non! Perang kok pake basa-basi kuno!"
SRIKANDI: Bisma, terimalah saat-tepat buat tamat riwayat!

"Awal, Jendral!"--(Dor!)


BISMA: Aaakkkhhh!
"Hooorrreee! Bisma gugur!"
"Hidup Panglima Wanita!"

Ki Harsono Siswocarito
Semarang, 31 Januari-6 Februari 1990

Selengkapnya....

Kembang Kampus Sokalima



Melati berseri menyambut hari
Mawar mekar berbinar liar
Kembang tulip kembang sakura
Dikaulah selendang buana!


UNIVERSITS NEGERI SOKALIMA.—Beat drum mengiringi megah-langkah kembang kampus Sokalima. Cewek kece berpenampilan super kontemporer! Incaran setiap orang berjenis cowok. Apalagi cowok yang berpredikat kumbang kampus semodel Arjuna, pasti jelalatan dibuatnya. Namanya cukup ngetop—Srikandi. Soal kekeceannya, lihat saja dalam “Catatan Si Kumbang Kampus,” Arjuna melukiskannya begini—

“Kandy memang cewek super trendy: bibirnya secantik iklan lipstick; matanya seeksotik iklan eyeshadow; rambutnya seaksi iklan styling foam; harumnya sekhas iklan parfum; pakaiannya setrendy iklan mode; bodynya sesexy iklan bikini; gayanya seluwes L’poseur; otaknya melebihi komputer; sikapnya praktis-emansipatoris; hobinya ngeceng ‘n mejeng; cita-citanya keren ‘n beken; idolanya artist-oriented; musik-nya ngerock; cintanya paten ‘n terpercaya; semboyannya—baca, cita, dan karya!”


Jeile! Arjuna memang jenius! Betapa jitunya ia melukiskan citra cewek super kontemporer itu. Berbeda dari gaya seniman orthodox! Lihat saja gayanya: apa itu lambene gula satemplik, halisna ngajeler paeh, dan sebangsanya? Apalagi seniman yang sok abstrak—segala keindahan bubar-ambyar tak karuan. Biarlah—suka-suka. Dengar saja semboyan klisenya, “Bentuk-bentuk kesenian menampilkan hukum-hukumnya sendiri, bukannya alasan-alasan yang mendorong kita dalam hidup sehari-hari.” Itu kata Viktor Sjiklovski. Arjuna tak terlalu menyetujuinya. Baginya, “Seni adalah deformasi!” Boleh juga!

Srikandi berjalan seperti di atas catwalk. Sikapnya menantang model Jane d’Arc. Kacamata mejeng menghiasi rambut new wave-nya. Binar matanya menyambar-liar sperti blitz. Kehadirannya membuat Dr Kumbayana cepat-kebat meloncat dari kantornya lewat jendela. Astaga--nekad juga tu doktor. Maunya memburu Srikandi. Dia memang naksir-tajir sama kembang kampusnya. Pantas! Kendatipun dia sudah mempunyai anak sebaya Srikandi, Dr Kumbayana tetap saja prex-cuek. Terlanjur kena puber kesejuta, go ahead dah!

Di samping itu, Wilutama, partner kumpul-kuda Dr Kumbayana, tak tentu kamarnya. Ketika Aswatama masih sekecil cindil, Wilutama minggat gara-gara tak pernah dikasih uang belanja. Habis gaji sang doktor minus terus. Ngobyek cuma boleh 4 SKS, mau korupsi mana bisa? Dia bukan birokrat! Dan … sst--ingat Waskat! Nah lu--mampus kau!

Ketimbang pusing seribu keliling, mendingan cari hiburan murahan. Dr Kumbayana mendekati kembang kampusnya. Kurawa ce-es ribut bersuit-suit. Burisrawa yang jago gombal kontan obral cinta, sengaja menggoda dosennya.

BURISRAWA: Hellaouw, Kandy--Madonna kampusku. Ngapain mau diemproceh ame dude tuek-jelek gitu? Baikan indehoy ame gue, yuk? Ditanggung syuuurrr dah!
Srikandi mendelik tapi tetap cantik-sinematik. Dr Kumbayana terbelalak kena tembak mahasiswanya yang kurang-ajar itu.

DURSASANA (ketawa ngakak). Huahahaha... dianya sih lebih klop sama ogut. Nih--mahasiswa Pemerintahan--calon bupati Banjarjumut!

DURMAGATI: Mendingan zama aku, calon inzinyur zepezaliz real-eztate maza-depan! Jeng Zri gak perelu jadi korban cinta model rumah zuzun. Bercintalah di real-eztate--canggih, kan?

Peduli amat sama kicauan setan! Srikandi buru-buru menuju perpustakaan. Ditinggal ngeblas semodel itu, Dr Kumbayana dongkol-konyol jadinya. Demi melampiaskan sial-sebalnya, dia merutuk-kutuki para mahasiswanya.

KUMBAYANA: Kowe orang tida ada mengarti etika, ya? Apa kowe mau maminta aku orang bikin kowe en kowe tida lulus dalem itu ujian? Aku orang bakal kasi kowe semua itu nilai E! Verdoooven!

DURMAGATI: Aziiik!

BURISRAWA: Youw ngancem, Dok? Youw kenow siape gue? Putra pejabat! Gak bolih macem-macem jika youw gak mau dipecat! Youw andesten, Dok?

Dr Kumbayana hanya bisa geleng-geleng kepala. Lantas dia bablas kaya Cakil kalah perang.

PERPUSTAKAAN.--Di ruang baca perpustakaan, Arjuna tampak asyik membaca novel karya Yudhistira, Arjuna Mencari Cinta. Dia tak sedikitpun bergeming oleh kehadiran Srikandi. Begitu pula ketika Kurawa ce-es liar-brutal membebek kembang kampus sapai ke sela-sela almari buku. Ruang baca berubah menjadi ruang cuci-mata. Karena risi Arjuna cepat loncat-pantat, cabut tanpa ita-itu.

SRIKANDI: Hai, Jun! Tunggu!

Arjuna menoleh. Ditatapnya kembang kampus dengan pandangan sedingin es-batu. Kaku-beku! Sekedar basa-basi dia bertanya.

ARJUNA: Ada apa?

SRIKANDI: Gak pa-pa--kau mau ke mana sih?

ARJUNA: Nyari privacy.

Tanpa menunggu reaksi, Arjuna ayun-langkah. Bengong-bingung Srikandi jadinya. Banowati yang lagi ngegosip berat sama konco-konconya, ketawa besar dibuatnya.

BANOWATI: Eh, liat tuh--kembang kampus kita kena batunya. Rasain lu! Gak usah ngeharep Mas Jun sudi ngegubris yee. Emangnye dia lebih kece dari gue. Nih--peragawati!

Dursilawati menyeringai bagai keledai melihat Banowati melenggak-lenggokkan badannya yang simon (super seksi lagi montok) itu.

DURSILAWATI: Tapi lu kalah cadas, Ban.

BANOWATI: Apaan tuh kalah cadas?

DURSILAWATI: Kalah cantik dan cerdas!

BANOWATI: Biarin! Yang mahapenting menang sexy. Gua jamin bakalan sukses bersaing. Otak gak penting! Nah--apa sih hebatnya Srikandi yang emang cantik dan cerdas itu? Lagi pula approach gue ame Arjuna udah sejak TK. Pasti Srikandi kalah berat!

SURTIKANTI (mesem-kalem): Sayang guanya sudah tunangan sama Mas Awangga. Seandainya belon, mau juga gua ikutan rame-rame bersaing sama ente. Apa sih sulitnya mentel Arjuna?

DURSILAWATI: Putusin aja tunanganmu itu, Kanti. Biar kujadiin doiku.

SURTIKANTI: Enak aja!

Bom-tawa meledak di tengah mereka. Di kejauhan Srikandi masih berdiri kaku-beku memandangi Arjuna yang lenyap terlahap sudutkampus. Ia bangkit dari keterbengongannya ketika Aswatama menyodorkan sepucuk surat kilat bersampul biru laut. Ia sempat mengucapkan terima kasih, lalu pergi.

Awan tembaga di langit
Barat mempercepat gelap
Senja lengket dibuai
Malam kesunyian!

PANCALA.--Srikandi menutup pintu kamarnya. Perlahan ia membuka sampul surat dari Aswatama. Ternyata surat itu tulisan Dr Kumbayana. Wah--bapak dicomblangin anak ni yee!--pikir Srikandi. Isinya gombal! Rampung membacanya, ia lemparkan surat gombal itu ke luar.

Di luar, Gandamana--ajudan Jendral Drupada, ayah Srikandi--tertimpuk remasan surat gombal itu tepat ngembat jidatnya. Dia memungutnya dan membacanya sambil berjalan:--
Dear Srikandi,

Kau cantik melebihi Juliet
Cintaku pada-Mu melebihi Romeo!
Aksesori yang bertahta di dada-Mu
Membuatku cemburu kaya Othelo
Kepada Desdemona!

Mit der Liebe
Dr Kumbayana


Gandamana terkejut-kalut. Diam-diam dia memendam cinta kepada putri atasannya itu. Kecemburuannya serentak menggelegak menyaingi kawah Candradimuka. Secepat kilat dia melompat ke atas jeep plat hijaunya. Lantas bablas terbawa gas! Melihat polah ajudan muda itu, penjaga piket melongo kaya kerbau.

Malam kelamkejam
Menyaingi jahanam
Jalan nan hitamlegam

Jeep plat hijau itu meluncur dahsyat. Tiba-tiba derit-jerit rem memecah langit. Kendaraan-kendaraan yang menghindari benturan dengan jeep yang kesetanan itu, ada yang masuk jurang, menyeruduk pelacur jalanan, melabrak-nabrak pedagang kaki lima, dan … ah, macam-macamlah. Gandamana mana ada urus! Dari dalam jeep itu terdengar suara:--

"I don't care anymore! Cinta lebih penting dari petaka, lebih utama dari etika! Kumbayana jahanam--cari mampus!"


SOKALIMA.--Begitu serba terburu, Gandamana banting kemudi. Jeep meliuk bagai penari ballet. Di depan rumah Dr Kumbayana, jeep berhenti. Gandamana meloncat turun. Derap langkahnya mantap, gagah-megah ala Commando. Tampangnya sadis-bengis melebihi teroris!

GANDAMANA: Kumbayana--keluar kau!

Teriakan itu bersambut kebisuan. Namun di dalam rumah terdengar lutut-lutut berbenturan, gemetar ketakutan. Gandamana menendang pintu sampai jebol-ambrol.

Dr Kumbayana sembunyi di kolong ranjang; tak putus-putusnya dia adu-dengkul! Derap-mantap sepatu radial sky-high mendekat. Ranjang turut bergetar tak terelakkan. Sepatu radial itu kian mendekat. Pucuk senjata model Rambo nyelonong tepat menyentuh hidung Dr Kumbayana.

GANDAMANA: Pilih kepalamu dhedhel-duel, atau menyerah?

KUMBAYANA: Mati aku! Iya-iya… a-aku a-ada m-mau k-keluar! T-tapi j-jangang t-tembak aku, Tuan.

Namun Dr Kumbayana tak mampu bangkit dari persembunyiannya. Dengan kasar dan kurang-ajar sekali Gandamana menyeretnya.

KUMBAYANA: A-aku j-jangan ditembak, Tuan. Silaken Tuan ambil itu TV, video, atau itu aku ada punya gaji masih utuh….

GANDAMANA: Diam!!! Aku bukan rampok! Ayo ikut aku!

KUMBAYANA: Tuan ada mau menyandra aku? Sia-sia, Tuan. Aku orang tida penting, bukan politisi, bukan pejabat tinggi. Cuma pekerja honorer, Tuan.

GANDAMANA: Kau telah lancang-pena. Kau harus menerima hukuman berat kerna telah berani menggoda putri sang jendral!

KUMBAYANA: Menghukum? Tapi mana Tuan ada punya surat tugas penahanan?

GANDAMANA: Tak perlu tugas-tugasan!
KUMBAYANA: Tapi, Tuan--ini negara kita punya, negara hukum. Meski aku orang ada salah, aku mamohon Tuan mau memakei itu prosedur yang berlaku.

GANDAMANA: Prex! Dunia kesatria ala wayang hanya kenal kepel-kepelan, jotos-jotosan, dan adu kanuragan. Aku mau bukti apakah si Kumbayana ini bener-bener sakti mandraguna ora tedas tapak paluning pande--eh, sorry--itu kuno! Maksudku, tapak-cetak teknologi nuklir, rudal de-el-el!

KUMBAYANA: Wah, Tuan--ampun dah! Aku orang hanya sekedar intelektual-brahmana, Tuan.

GANDAMANA: Apa maksudmu, Dok?

Dr Kumbayana mesem demi melihat Gandamana luntur-lulur sadis-bengisnya. Kesempatan itu tak disia-siakannya.

KUMBAYANA: Nah! Tuan ada mau tau apa mengartinya itu intelektual-brahmana? Goed! Itulah manusia yang ada punya batok kepala penuh dengan dalil-dalil iptek dan filsafat sedangken batinnya penuh dengan jopa-japu!

Gandamana berkerut jidat. Senjata Rambo-nya diturunkan. Dr Kumbayana tak lagi ketakutan. Dia merasa polemologinya sukses. Muka sadis-bengis itu luntur seperti gombal murahan.

GANDAMANA: Apa itu jopa-japu? Sejenis mantra ya, Dok?

KUMBAYANA: O, bukan! Eh, iya juga. Nah--itu! Namun mantra lain dari doa-doa. Taukah, Tuan?

GANDAMANA: O?

KUMBAYANA: Bahkan jika Tuan ada mau tau--ada mantra modern yang bisa bikin orang jadi apa maunya. Betul, Tuan.

GANDAMANA: Ada itu, Dok?

Dr Kumbayana sejurus mengingat-ingat mantra modern yang dihafalnya. Dengan gaya penyair dia membacakannya:--

Papaliko arukabazuku kodega suzukalibu tutuk liba dekodega zamzam lagotokoco


Busyet! Itu kan dari "Husspuss" karya Sutardji Calzoum Bachri. Dasar-dasar! Gandamana merasa terpecundang dengan sukses. Karena tak kuat menahan benci campur geli, jab sehebat Tyson telak menabrak hidung Dr Kumbayana. Dan tendangan Tae Kwon Do Gandamana cukup membuat remuk tangan kiri sasarannya. Doktor sial-dangkal itu ambruk.

Bumi goncang langit goncang!
Tinggal gelap dalam kejap!



RUMAH SAKIT.--Sokalima gempar! Dr Kumbayana ajur-mumur-babak-belur. Aswa-tama tak berdaya. Dia tak tahu siapa yang mempermak ayahnya itu. Malam itu sehabis ngapeli Dursilawati, dia mendapati rumahnya berantakan dan bokapnya terbenam di dalam got persis werok. Dia mengira telah terjadi perampokan berdarah. Namun tak ada barang hilang kecuali kancing baju bokapnya yang rontok berserakan. Hasil penyidikan detektif partikelir positif bukan motif perampokan, namun penganiayaan.

Di ruang tunggu rumah sakit, Aswatama tercenung-bingung. Begitu seorang dokter keluar dari ICU, dia mendekatinya.

ASWATAMA: Gemana, Dok?

DOKTER: Emm--baik. Gegar otaknya bisa disembuhkan, namun cacat tak terelakkan. Terutama, mulut, hidung, dan tangan kiri Dr Kumbayanatak bisa kembali sempurna seperti sedia kala.

Aswatama terkulai-lunglai. Dia jatuh-runtuh menubruk kursi lipat berkaki x. Matanya redup kaya lampu kurang setrum. Dokter itu hanya tersenyum cuka. Kecut-purut! Lewat kaca, langit tampak sepucat kain kafan. Setatah wajah pasrah lemah terbalut luka parah. Dr Kumbayana terbujur di sana. Di sela-sela rintih-pedihnya sesekali terdengan igauan, "papaliko… bazuku… suzu… ibu…"

Cemas-ngenas Aswatama jadinya. Ditatapnya seratus botol infus bergiliran melawan mampus. Dalam kedukaan waktu terasa lamban.

Pagi bermulut sepi
Tanpa kata tanpa
Tanya tanpa sapa!


Aswatama menarik nafas keras-keras! Dia membuka catatan hariannya: Minggu, Senin, Selasa… Minggu, Minggu, Minggu--dan entah berapa sudah Minggu berlalu, Dr Kumbayana belum sembuh juga. Pelan namun pasti, Aswatama menggoreskan pena:--

Tinggal tanggal berubah; tapi hari tiada berganti. Bokapku masih kuyu. Perkaranya beku. De polis ken du nating! Mungkin sengaja dikulkaskan. Doiku, si gembrot Dursilawati, juga sialan. Dekat kamar mayat, dia masih minta di-68. Dia bilang, "Cinta tak kenal derita!" Aje gileee! 68 lagi dan lagi-lagi 68. Gila-gelinya teka-teki! Dianya emang suka yang hot-hot: martabak panas, atau kue Bandung hangat. Rakusnya juilah! Aku barusan sepotong, dianya udah abis tujuh. Cocok deh sama giginya yang radial kaya ban traktor! Dasar ondel-ondel Betawi! Cuweklah….
Terdengar langkah gagah mendekat. Aswatama menutup bukunya. Dari mulut corridor muncul Arjuna.

ARJUNA: G'morrow, Tom! Pak Doktor udah baikan?

ASWATAMA: G'monin, Fren--yah gitulah!

ARJUNA: Penyidikan polisi gemana hasilnya?

ASWATAMA: Nihil!

ARJUNA: Sure?--may and may not be. Saya mau coba melacaknya. Kejahatan tak bisa lari kecuali ke neraka.

ASWATAMA: Yes, Fren--smes it! Yu'll be ol rait.

Arjuna maklum-mafhum terhadap dialek Inggris mbeling Aswatama. Setelah menengok Dr Kumbayana, Arjuna cabut-kaki.

ARJUNA: G'bye, Tom!

ASWATAMA: G'bay, Fren!
Mulut corridor menelan Arjuna bulat-bulat. Lenyap-ngeclap!

Ringkas berita
Memburu peristiwa
Pertanda Kurawa
Pada unjuk-rasa!


ASTINA.--Letjen Sakuni, Kapoltabes Astina, tengah melakukan briefing. Letkol Kartamarma duduk sambil melintir kumisnya yang sekaku jeruji bui. Mayor Citraksi mengangguk-anggukkan kepala bukan karena mengerti intruksi atasan, namun karena ngantuk. Kopral Citrayuda tertidur sampai ngiler.

SAKUNI: Hasil penyidikan yang bermotif politik sudah positif bahwa penganiaya Dr Kumbayana adalah Bima! Kerna orang yang punya jemari kayak pisang ambon sesisir hanyalah Bima. Tak ragu lagi--tangkap si Bima bajingan itu. Laksanakan!

KARTAMARMA: Siap laksanakan!

Setelah hormat sama atasan, Letkol Kartamarma ganti menyikut bawahan. Jilat sana sikut sini sudah ngoyod dalam tradisi! Budaya minus yang tak terelakkan. Borok semodel itu tak usah diperban--amputasi sajalah biar nyaho.

KARTAMARMA: Yor-Mayor--bangun lu ah! Tidur melulu. Bangun, Yor!

Mayor Citraksi malah kontes ngorok sama Kopral Citrayuda. Letkol Kartamarma tak kehabisan cara untuk membangunkan bawahannya.

KARTAMARMA: Mayor, saya dapet bonus nih!

CITRAKSI: Mana-mana? Bagi hasil dong, Overste!

CITRAYUDA: Fifty-fifty saja dah, Ov, sama bawahan.

Letkol Kartamarma meringis sinis. Nah lu! Jika sudah begitu, bawahan mau tak mau harus disiplin. Mereka tak dapat berbuat lain kecuali berangkat mengemban tugas.

TAMAN.--Karena Bima bukan buronan, mudah saja dia ditemukan. Di sebuah taman, dia lagi asyik berkencan dengan doi'nya--Nagagini. Letkol Kartamarma segera mengatur strategi penyergapan.

KARTAMARMA: Kesempatan! Bima lagi kencan sama banci. Awas jangan sampai lolos! Kau tau cara tercanggih untuk menciiduk Bima, Mayor?

CITRAKSI: Gampang! Tembak di tempat saja, model petrus itu loh.

KARTAMARMA: Hush--ngawur! Itu cara terakhir. Ingat--kita harus menjaga citra de polis.

CITRAYUDA: Saya usul. Sebaiknya pakai mantra penyirepan biar Bima tertidur dan tinggal digusur. Beres, kan?

KARTAMARMA: Kau bisa melakukannya, Pral?

CITRAYUDA: Yo jelas to. Lha wong aku kok!

CITRAKSI: Alaaa--sok aja lu. Coba deh gue pengin tau.

Kopral Citrayuda melipat tangannya di dada. Matanya terpejam. Mulutnya komat-kamit merapal lafal mantra penyirepan:--


Rep sirep si megandana,
Wong sarewu pada tumut,
Salaksa wong serah nyawa.


Reaksinya belum juga tampak. Bima dan kekasihnya malah tambah mesra. Mayor Citraksi mulai menguap lebar; tapi dia memang berpenyakit lethargy. Letkol Kartamarma bengong-monyong. Suasana malah menggairahkan Bima. Apalagi doi'nya tak sungkan-sungkan membenamkan kepalanya di dada.

KARTAMARMA: Celaka tiga-belas, Pral! Kita sergap saja!

CITRAYUDA: Tunggu. Liat tuh Bima mulai merunduk. Doi'nya sudah tertidur dalam pelukan.

KARTAMARMA: Busyet--emang itu orang lagi in action. Bukannya tertidur, Pral. Goblok lu ah!

Tanpa terkira, Bima melemparkan botol minuman dan tepat ngembat jidat Letkol Kartamarma. Tak ampun lagi, dia kontan pingsan. Tubuhnya ambruk mirip batang pisang ditebas pedang. Mata merah-ngantuk Mayor Citraksi terbelalak kaya traffic light. Merah-kuning-hijau!

CITRAKSI: Sergap, Pral!

Bima kaget-copet dihentak-bentak Kopral Citrayuda. Nagagini menggigil ketakutan. Bima bangkit. Ditatapnya muka Mayor Citraksi dan Kopral Citrayuda yang kaya cow boy kampung itu. Bima mengira mereka itu berandalan yang sok jagoan dan mau cari story. Dengan sikap jantan ala pendekar, Bima melangkah siap tempur.

CITRAKSI: Menyerah sajalah, Bung!

Tangan berujung pistol nyelonong di depat hidung Bima. Secepat kilat dia menyambarnya, dan tinjunya menabrak telak muka brewok si Mayor. Melihat atasannya di-KO pada menit pertama, Kopral Citrayuda meraih pistolnya. Tanpa sempat menodongkannya, sebuah pukulan berbobot 3 kuintal membentur perut-buncitnya. Tak ampun lagi kopral-sial itu terlempar keluar taman, lalu jatuh ke dalam got hitam. Tontonan gratis ni yee--kata orang-orang.

Bima menepis-nepis lengan bajunya. Nagagini yang sejak tadi kaku-beku di pojok taman, menghambur memburu doi'nya. Bima merangkulnya.

NAGAGINI: Kau tak kenapa-napa, Yang? Ngeri aku--tapi, asyik juga. Gayamu kaya Mr T bintang The A Team itu!

Bima mesem-kalem. Kedua sejoli itu ber-"cup-mmmh-cup-mmmh", lantas pergi.

Siang yang panas
Menyapa hari naas

MARKAS.--Letjen Sakuni memaki-maki bawahannya.

SAKUNI: Bodoh! Melaksanakan tugas segitu saja tidak becus!

KARTAMARMA: Soalnya dia tidak mempan mantra.

SAKUNI: Mantra? Apa pulak ituh? Tolol kau! Pake otaklah. Ditembak-bius saja--beres!

CITRAKSI: Betul juga, ya? Dengan obat-bius, dijamin lemas-amblas dah si Bima. Let's go, Pral!
"Pelaku Penganiayaan Dr Kumbayana Tertangkap!"


SOKALIMA.--Arjuna terbelalak membaca berita Suara Astina itu. Bima segera diajukan ke pengadilan. Arjuna ndoyong jadinya--kenapa malah Bima, kakaknya, yang ditangkap dan didakwa melakukan penganiayaan terhadap Dr Kumbayana? Jelas fitnah!--pikir Arjuna. Pelacakannya sendiri baru setengah jalan: surat gombal-kumal tulisan Dr Kumbayana, berhasil ditemukan Arjuna di tempat sampah. Surat itu melibatkan nama kembang kampus Sokalima--Srikandi. Di emper kampus, Arjuna dihadang Banowati.

BANOWATI: Jun, anterin gue shopping dong. Mau, ya?

ARJUNA: Wah--sorry berat deh, Ban. Saya lagi sibuk nih.

BANOWATI: Sebentaaar aja, 'napa sih, Jun?

ARJUNA: Gak bisa, Ban. Ada urusan penting!

Banowati suntrut-cemberut, gagal ngegaet Arjuna untuk jalan-jalan. Padahal dia sudah bertaruh dengan Surtikanti dan Dursilawati. Arjuna tak menggubris muka-kecewa itu. Surat gombal-kumal mengajaknya menuju rumah Srikandi.

PANCALA.--Setelah mengisi buku-tamu yang disodorkan si muka sadis-bengis Gandamana, Arjuna baru boleh menuju ruang tamu. Srikandi muncul dengan senyum semanis iklan lipstick. Tubuhnya tampak padat-sehat berbalut celana jeans ketat dan T-shirt ngepas. Arjuna yang hafal Katuranggan Perawan, kontan mengklasifikasikannya ke dalam tipe wanita Gedang Kencana dan rada Mitra Dharma!

SRIKANDI: Come in, Jun. Akhirnya kau mau juga main ke sini.

ARJUNA: Danke! Saya perlu bantuanmu, Kandy.

SRIKANDI: O-ya? Apaan tuh?

ARJUNA: Kau kenal surat ini?

Melihat surat gombal tulisan Dr Kumbayana ada di tangan Arjuna, Srikandi terkejut-marmut. Arjuna mesem-kalem.

SRIKANDI: Surat itu dulu kubuang begitu saja. Kok nyasar ke kamu sih, Jun?

ARJUNA: Saya menemukannya dalam tempat sampah Dr Kumbayana. Kau yang ngembaliin?

SRIKANDI: Ah, enggak! Emangnya kenapa sih, Jun?

ARJUNA: Surat ini berkaitan dengan penganiayaan Dr Kumbayana. Dan, Bima telah jadi korban salah tangkap. Mana mungkin dia tega mengepruk-remuk dosennya.

SRIKANDI: Lalu kau menuduhku, Jun?

ARJUNA: Bukannya gitu, Kandy. Mungkin ada orang yang mencemburuimu, lantas mempermak penulis surat ini. Kau udah punya doi, Kandy?

SRIKANDY: Em… belum, Jun. Papa ngelarang doi-doian. Dia bilang, "Cita-cita dulu, baru cinta!" Di samping itu, pengawalan Bang Ganda ketat banget.

Kesempatan!--pikir Arjuna. Lengket dia menatapnya. Dasar mata lelaki! Srikandi tersipu-sipu. Rona merah di pipinya kian menjumlah kecantikannya. Ia mencabut pandangannya yang tertancap di sudut sofa. Lantas ia memberanikan diri melirik cowok super-kece di kanan-depannya. Namun berantakan! Pandangannya bertabrakan. Sepoles senyum Richard Gere terlukis-manis di bibir Arjuna. Spontan-kontan jantung Srikandi berdentum menyaingi beat-drums Phil Collins.

ARJUNA: Saya permisi dulu--see you later, Kandy.

SRIKANDI: Kok kepetan, sih? Mau ke mana, Jun?

ARJUNA: Maklum--detektif amatir! Yoo, Kandy.

SRIKANDI: Yoo-bye!

Baru saja Arjuna melangkah ke luar pagar, terdengar suara berat memanggil. Dia menoleh. Gandamana stand-by dekat jeep plat hijaunya. Muka sadis-terorisnya tak kenal kompromi.

GANDAMANA: Jangan coba-coba menggoda putri Sang Jendral, jika tak ingin bernasib seperti Dr Kumbayana. Lihat nih--tangan kananku rumah sakit, tangan kiriku neraka!

ARJUNA: O, ini toh--penganiaya Dr Kumbayana itu?

GANDAMANA: Iya--kau mau apa?

ARJUNA: Jantan juga rupanya! Atau mentang-mentang Ajudan? Prex! Keadilan lebih penting dari jabatan.

GANDAMANA: Jangan sok pahlawan, Bung! Jadi pengecut sajalah biar selamat.

ARJUNA: Prex ah! Orang macem kau emang pantes jadi penghuni bui. Go to jail, Bung!

Tiba-tiba Gandamana meloncat, tinjunya siap membentur kepala Arjuna. Tapi meleset! Si juru-kepruk penasaran, kemarahannya berkobar-kobar menyaingi kilang minyak Iran yang dibom Irak. Pertempuran tak terelakkan. Segi fisik, Arjuna kalah besar; namun segi taktik, dia menang pintar. Tak aneh jika Gandamana kewalahan, lantas mencabut pisau commando-nya. Dengan buas-ganas pisau itu meluncur ke arah dada Arjuna. Secepat kilat Arjuna menyambarnya, dan tendangannya cukup membuat Gandamana tersungkur mencium aspal panas.

Gandamana berusaha bangkit. Dia menggapai-gapai dinding jeepnya. Sembari sempoyongan kaya-gaya mabuk, dia ambil senjata Rambo-nya. Lantas dibidikkannya ke arah Arjuna.

GANDAMANA: He-he-he… mampus-pupus kau, Bung!

ARJUNA: Boleh! Kau pun pasti mampus jika tau siapa aku.

GANDAMANA: Emangnya kau siapa?

ARJUNA: Arjuna! Calon menantu Jendral Drupada.

Senjata siap "DOR" itu perlahan turun. Bukan karena grogi dibentak-gertak Arjuna, namun karena Jendral Drupada muncul bersama Srikandi.

DRUPADA: Apa yang kowe orang ada mau perbuat, Kapiten?

GANDAMANA: Dia telah merobek-robek harga diri saya, Jendral.

DRUPADA: Betulkah dia orang ada punya itu omongan, Arjuna?

ARJUNA: Bohong, Oom! Ngawur aja dia. Justru dianya ngeduluin ngajak berantem. Dialah penganiaya Dr Kumbayana itu, Oom.

SRIKANDI (kaget): Kenapa kau senekad itu, Ganda?

GANDAMANA: Demi kau Nona Muda--saya cinta kamu.

Mendengar pengakuan semodel itu, Srikandi bengong-bolong. Arjuna tersenyum geli. Konyol! Pandangan Gandamana jatuh-runtuh menubruk ujung sepatu Jendral Drupada.

DRUPADA: Kowe orang mesti ada mau tanggung itu risiko dalem ini perkara, Kapiten! En aku tiada mumkin ada kasih lindungan buat kowe punya itu perbuatan. Keadilan lebih berkuasa dari jabatan.

Mobil tahanan menjemput Gandamana. Sesaat dia sempat melirik kembang kampus Sokalima. Srikandi menatapnya hingga mobil itu lenyap ditelan belokan. Lalu ia banting-mata pada Arjuna di sisinya. Arjuna menyambutnya dengan senyum yang "cup-mmmh". Tebar mekar bunga-bunga cinta dalam dada Srikandi menantang kumbang jatuh-luluh dalam rengkuhan. Cup-mmmh--CUT! Kemesraan kembang dan kumbang kampus bersambut lagu Greatest Love of All lantunan si super hitam manis Whitney Houston.



Semarang, 1-8 April 1989
Ki Harsono Siswocarito

Selengkapnya....

Sang Hyang Mayadewa


Sri tinon ing pasewakan
Busana manekawarna kebak
Puspiteng udiyana miyang
Hanjrah sarwa rukma …

ASTINA.—Para pemimpin Kurawa sedang mengadakan sidang umum, demi membahas tuntas krisis Kurusetra.

DURYUDANA: Dewan sidang terhormat! Krisis Kurusetra adalah krisis dunia yang perlu diatasi secara global sebelum terlanjur pecah Perang Dunia Baratayuda. Demi kejayaan Kurawa, sidang ini dibuka. Selamat datang buat Jendral Baladewa.

BALADEWA: Iyo, terima kasih, huahahaha… maaf, saya terlambat. Maklum—sibuk! Banyak urusan dalam negeri. Demi pemerataan pembangunan! Huahahaha….

SAKUNI: Hehe… sama! Bahkan Astina kini lagi menggalakan perdamaian dunia. Mencegah PD III Baratayuda! Gitu kan, Prof?

DURNA: Benar! Nah, justru itu Kurawa perlu menerapkan strategi politik luar negeri yang jitu! Menang tanpa perang! Nah, hahaha….

DURYUDANA: Tepat, Prof Dur! Sebagai mahaguru penuh-ilmu canggih-teori kaya-pustaka tentu kau mampu memberikan strategi jitu!

DURNA: Nah, hahaha… temtu, temtu! Durna bukan sekedar profesor tampang, bukan profesor pangkat, namun mahapakar serba pintar, mahaahli multicanggih!

BALADEWA: Krrk-cuah! Usah sombong! Buktikan, Prof!

DURNA: Baik! Menurut penelitian, dasar kekuatan hankam Amarta terletak pada kemanunggalan antara Pandawa dengan Panakawan. Itulah kemanunggalan antara aparat dengan rakyat! Nah, demi menghancurkan kekuatan serupa itu—culik Semar! Sandra! Bila perlu, bunuh!

KARNA: Tunggu dulu! Itu melanggar hak-hak azasi manusia. Saya keberatan!

SAKUNI: Tenang, Pak Gub Awangga! Kebijakan ada pada Presiden Duryudana, decision-maker.

DURYUDANA: Hmh, setuju! Gemana, Jendral Baladewa?

BALADEWA: OK!

DURYUDANA: Baik—Brigjen Dursasana, siapkan Operasi Panakawan. Sandra Semar!

DURSASANA: Ait! Siap! Huaha… e-e-e, permisi!

“Siap gerak! Inilah daftar perwira pilihan dalam Operasi Panakawan: Dursala, Dursata, Durmagati, Durmuka, Durkarma, Durwigata, Duradara, Kartamarma, Kartipeya, Citrayuda, Citra-marma, Citrakandala, Citraksa, Citraksi, Citragada, Drepayuda, Drepawarman, Drepasastra, Dredarata, Ugrasewa, Drestahasta, Adityaketu, Bimabahu, Dirgarama, Dirgabahu, Dirgalacana…!”
“Siap! Siap! Siap! Siap!”

Gegap derap
Siap sergap

Waspada Gatotkaca
Perwiratama udara

TAPAL BATAS, AMARTA.—Pesawat tempur Krincingwesi meluncur pesat mahacepat!

“Hmmm… keparat Kurawa! Hadapi dulu Angkatan Udara Amarta!"—(Plas! Plas! Plas!)
“Awas bom! Tiarap!”
(Blar! Blar! Blar!)
“Krrk-cuah! Pesawat laknat keparat! Berani menjegal pasukan Astina—rasakan nih!”—(Dreder-der-der…!!!)
“Break, Divisi Jangkarbumi, di sini Marsekal Gatotkaca minta bantuan Angkatan Darat Amarta, over !”
“Well, Kolonel Antareja siap membantu—”
“Kontek Laksamana Antasena!”
“Siap!”
(Blar! Blar! Blar!)
“Krrk-cuah! Gawat!”
“Dur, Dir, Cit, Karta… mundur! Mundur!”
“Krrk-cuah! Gemana, Prof?”
“Berat! Daripada hancur, baikan mundur. Ganti taktik diplomatik! Aku mau menemui Gubernur Arjuna di Madukara.”
“Baik! Hati-hati, Prof!”
“OK, sip dah!”

Cepatkebat Prof Durna
Pergi menuju Madukara

MADUKARA.—Jendral Arjuna menyambut Prof Durna.

ARJUNA: Selamat datang, Prof.

DURNA: Terima kasih! Sebagai duta Astina saya diutus oleh Presiden Duryudana demi merundingkan masalah krisis Kuru-setra. Demi mencegah perang Baratayuda, demi perdamaian dunia, Astina minta Amarta menyerahkan Semar.

ARJUNA: Buat apa, Prof?

DURNA: Untuk dijadikan sesepuh Astina! Nah, jika tak ke-beratan, harap segera antarkan Semar ke Astina.

ARJUNA: Baiklah! Petunjuk mahaguru saya laksanakan.

DURNA: Nah, hahaha… silakan!

Bumi goncang
Laut goncang

GARA-GARA—Taktikpicik konflik politik tersulut sudut maut. Tumaritis terjamah wabah serakah buas darah.

Suwe ora jamu, Mas
Jamune godong telo
Suwe ra ketemu Mas
Lho kok malah bodo

“Welah, Gong—kuno! Gak maju-maju! Seni mesti memiliki ciri mandiri. Mesti khas, bukan klise!”
“Asal duit—Anjing!”
“Welah! Kena wabah dokuisme, idealisme seni luntur!”
“Biarin—Bangsat!”
“Udah-udah! Ribut aje! Malu tuh ame pembaca.”
“Sendika dawuh, Raka Prabu—”
“Udah—Anjing! Usah ngedalang sinting gitu!”
“Hihi… abis, omongan wayang asyik. Jika saja aku dalang!"
“Ngapain?”
“Kan kuganti namaku jadi Bagong De Vito—hihihi….”
“Busyet! Kirain apaan?”
“Eh, liat ada Pak Jun!”
ARJUNA: Sampurasun!

SEMAR: Rampes, Jendral Arjuna, silakan masuk.

ARJUNA: Terima kasih. Pak Semar, kuminta kesediaanmu untuk jadi duta perdamaian Amarta di Astina. Saat ini juga kau mesti berangkat bersama Prof Durna.

DURNA: Benar, Ki Semar!

SEMAR: Baiklah, mari—Le, jaga desa!”
“Beres, Mo!”
Terberitakan Prof Durna
Membawa Semar ke Astina

ASTINA.—Dalam bui di ruang bawah tanah Semar dipenjara. Bukan jadi duta ia, tapi mandi derita. Ia tak kuasa berbuat apa.

“O, Gusti! Apa noda, dosa, cela, dan mala yang telah kuperbuat, hingga aku
memperoleh nasib begini?”

Duka daku dikau daki
Dikau duka daku daki

“Hai, Kurawa! Semar menghilang dari penjara!”
“Krrk-cuah! Keparat! Siapa kau?”
“Usah kaget, Kurawa! Aku Sang Hyang Maya Dewa yang telah membebaskan Ki Semar Badranaya.”
“Dur, Cit, Karta—tangkap dia!”
“Siap! Siap! Siap!”
(Clap!)—“Ciaat!”—(Jder!)—“Ait! Pfuh!”—(Splak! Bugh!) “Aduh!”
“Krrk-cuah! Keparat! Hiaatt!”— (Zplak! Dez! Bugh!) —“Heughk! Hoeekh ooo…!”
“Liat, Dur! Jendral Baladewa dihajar sampai muntaber!”
“Krrk-cuah! Lari, Cit!”
“Oke deh!”

Kurawa lari
Kian kemari

Sang Hyang Maya Dewa
Segera menuju Amarta

AMARTA.—Jendral Arjuna minta suaka.

YUDISTIRA: Ada apa, Jendral Arjuna?

ARJUNA: Celaka! Saya diburu mahajaksa bernama Sang Hyang Maya Dewa.

BIMA: Hmh, kenapa?

ARJUNA: Saya telah mengirim Pak Semar ke Astina sebagai duta perdamaian, namun ia murca.
KRENA: O, pantas!

“Heh, Arjuna! Usah sambat keparat! Meski lari ke luar tata semesta, kau tak akan
bebas lepas dari tuntutan Mahajaksa Sang Hyang Maya Dewa!”

ARJUNA: Belalah Saya.

KRESNA: Biar kuhadapi!

“Babo krrk-cuah! Orang hitam kusam mau apa kau?”
“Maaf, Mahajaksa—memang Arjuna ada di pihak terdakwa, jika terbukti bersalah. Namun Amarta adalah negara hukum yang menghargai azas praduga tak bersalah. Nah, marilah kita selesaikan di pengadilan.”
“Usah berdalih! Arjuna terlibat dalam penipuan tenaga kerja, penyalahgunaan jabatan, berkomplot dengan Kurawa untuk
mencelakakan Ki Semar Badranaya.”
“Baiklah, kesaksian saudara bisa dibeberkan di peng-adilan. Saudara bisa menuntut Jendral Arjuna! Apakah saudara warga Amarta?”
“Ya! Ini KTP saya!”
“Lho! Pak Semar?”
“Ya: Sang Hyang Maya Dewa hanyalah nama samaran!”
“O!”
“Hehehe… sudahlah, Pak Kresna. Kekeliruan Jendral Arjuna saya maklumi! Saya mesti segera kembali ke desa Tumaritis. Permisi!”
“Mari, Pak Semar!”



Semarang 12 Mei 1991 Ki Harsono Siswocarito

Selengkapnya....

Sang Hyang Segara Rekayasa



Puja-pujiku hanya bagiNya
Pencipta semesta seisinya
Hormatku buat ki pujangga
Yang memahamuliakanNya


ASTINA.—Para Kurawa pada bicara bersama Jendral Bala-dewa, Presiden Mandura, membahas masalah petaka negara.

DURYUDANA: Dewan sidang yang mulia! Luapan samudra, musim hujan yang luarbiasa, hujanbadai, banjirbah, seolah mau menenggelamkan dunia, menjadi malabencana global. Apa hal ini juga menimpa negara Mandura?

BALADEWA: Iyo—sama! Malah beberapa daerah sudah lenyap dilahap luap samudra.

KARNA: Pun jua Propinsi Awangga! Nelayan jadi korban! Wisata bahari mati! Rusakporak di sana-sini.

DURYUDANA: Apa sebenarnya penyebab malabencana ini? Dan bagaimana cara mengatasinya?

SAKUNI: Maaf, Pak! Mungkin Prof Durna punya sumbangsih pemikiran otentik serta strategi pemecahan masalah yang jitu.

DURYUDANA: Benar, Prof Dur—silakan naik ke mimbar.

DURNA: Nah, hahaha… trims! Pakarakbar tak perlu berkoar di atas mimbar! Tut wuri handayani! Nah, hahaha… ketahuilah dewan sidang yang mulia—tak cuma Astina, Mandura, Awangga yang tertimpa malapetaka, malah sampai Bangladesh. Lebih mengerikan! Nah, secara teoritis—ada akibat, ada sebab! Semua mala hanyalah akibat dari suatu sebab. Samudra meluap, hujanbadai, banjirbah, malah gunung es di kedua kutub bumi pun mencair—itu semua kerna perbuatan manusia yang tak pernah peduli pada kelestarian lingkungan hidup. Oknum tak bertanggungjawab!

BALADEWA: Krrk-cuah! Oknum keparat! Siapa, Prof?

DURNA: Menurut penelitian, itu semua akibat perbuatan si Antasena yang sedang bereksperimen di dasar samudra.

BALADEWA: Krrk-cuah! Laknat si Antasena!

KARNA: Apa maunya ia?

DURNA: Kerna ia Kasal Amarta, pasti punya tujuan politis. Demi kejayaan bangsa Pandawa! Ia mau menjadi penguasa samudra dan mengaku bergelar Sang Hyang Segara Rekayasa.

BALADEWA: Apa? Sang Hyang? Krrk-cuah! Edan! Si Antasena gila! Apa gelar itu ada dalam kitab, Prof?

DURNA: Ah, tiada! Semua pustaka telah dibaca. Pustaka Universitas Sokalima sampai Universitas Atasangin sudah saya teliti. Baik dalam kitab kuno model Tantu Panggelaran, Kitab Manik Maya, Kitab Paramayoga, Kitab Kanda, Kitab Sudamala, Kitab Nawaruci, Kitab Gatutkacasraya, Mahabarata, Ramayana, maupun kitab lain—tak ada gelar Sang Hyang Segara Reka-yasa. Sang Hyang gadungan! Palsu!

DURYUDANA: Jika begitu, gagalkan eksperimen si Antasena, tangkap dan adili!

SAKUNI: Jika Amarta melindungi?

DURYUDANA: Serbu!

“Setuju! Setuju! Setuju!” + “Ziplah!” + “B-beres!” + “OK!” + “Hidup Kurawa!” + “Hidup! Hidup! Hidup!…”


BALADEWA: Krrk-cuah! Tepat!

DURYUDANA: Baiklah, Jendral Baladewa—pimpinlah pasu-kan multinasional. Dan Letjen Karna harap memimpin pasukan Parakomando Astina.

BALADEWA: Siap!

KARNA: Siap!

“Pasukan Parakomando Operasi Samudra—siap gerak! Lapor: Dursasana, Dursala, Dursata, Durmuka, Durkarna, Duradara, Durwigata, Durmagati, Kartamarma, Kartipeya, Citragada, Citramarma, Citrakandala, Citrayuda, Citraksa, Citraksi, Adityaketu, Bimabahu, Dirgabahu, Dirgalacana, Dirgarama, Dreda-rata, Drepasastra, Drestahasta, Drepayuda Drepawarman,—siap bergerak!”

“Laksanakan!”
“Siap!”


Pertempuran samudra
Siapsergap Antasena

DASAR SAMUDRA.—Zona teritorial Amarta.

(BLAARR!)
“Krrk-cuah! Ranjo laknat!”
“Awas kapal slam!”
(BLAARR!)


AANTASENA: Hmh, Kurawa—jangan harap bisa mendobrak-porak hankam Amarta. Submarine Antaboga karyarekacipta Prof Dr Antaboga teramat handal. Aku Sang Hyang Segara Rekayasa lagi bereksperimentasi dalam Sea-Lab Oceanoculture demi masa depan bangsa. Siapa pun tak boleh masuk ke dalam Sea-Lab ini.

Gara-gara
Bumi gapai
Laut badai

TUMARITIS.—Dalam dukamala dunia, Panakawan pada berwawancanda.

“Excuse me, I’m Petruk Swayze. Dear Readres—how are you today? Fine? OK, so am I. Hehehe… ceritanya hujan nih: basah, bocor, becek! Ehm… Yun, Ren, Sis—ngapain? Ngeceng melulu! Kapan mejeng lagi di Matahari? Gantian! Ngampus kek, hehehe… gemana tuh Wayang Kampus ? Hura-hura aje! Bilangnya: aktivis! Ngilmiyah kek, hehehe… gak nyeni ah!”
“Omong ame siape, Truk?”
“To my fans, of course!”
“Huh, sok top! Sok pop!”
“Hehehe… emang kok! Eh, Gareng mana? Bang, si Gareng Mbeling udah dibikin belon? Cepet buru dimainin! Kan mau show—jangan cuma Bagong yang in action. Bosen!”
“Sentimen lu, Truk!”
“Harus! Nah, itu Gareng! Sini, Reng! Where’re ye from?”
“Show-biz!” + “Show off!”
“Zow, ngerti? Gak kaya lu: ngeceng melulu. Gak laku-laku!”
“Enak aje! Di sono gue observasi: meneliti perilaku budaya konsumerisme demi antisipasi bisnis masadepan. Kan asik!”
“O dasar Bagong Urban!”
“Udah! Pak Jun datang!”


ARJUNA: Kang Semar—Laksamana Antasena mesti dicari. Lama dia tak melapor ke Amarta.

SEMAR: Mari, Pak.

Arjuna dan Panakawan
Menembus jalan hutan


“E-e-babo-babo… Gog—ada p-penjelajah r-rimba Pringga-dingatala. S-siapa, Gog?
“Sst! Jendral Arjuna!”
“E-e-babo-babo… s-serbu!”—(Clap!)—“C-ciaat!”—(Dez! Zplak! Deb! Bugh!)—“Hugk-khoeekh uhuooo… m-mati a-aku, Gog!”—(Bruk!)
“Cakil mati, Lung!”
“Biarin saja, Gog!”
“Grr-babo-babo, keparat! Hadapi aku Dityakala Badai-segara! Heh, konco-konco: Pragalba, Rambut Geni, Padas Gempal, Jurangrawah, Buta Ijo, Buta Terong, Buta Endog—ayo keroyok si perwira keparat itu!”
“C’mon!” + “OK!” + “Move!”
“Satu, dua, tiga! Ciat! Ciat! Ciiaatt!”—(Blaarr!)—“Aduh! Ahk! Khk! Klk!”—(Blug! Blug! Blug!)
“Zuilah! Mampuz zemua!” + “Benal! Ayo lali, Mas!”
(Jleg!)—“Brenti!”
“Ziapa lu? O yez! Kenalin—gue Mr George! Yez, Mr Joz!”
“Busyet! Keren juga nih Buto—pake nama beken segala! Elu kalah, Reng.”
“Em… lu siape, Pelo?”
“Mistel Gabliel! Ayo pelgi ah! Usah ngulusin olang tak kaluan!”—(Bugh! Bugh!)—“Adow! Main pelmak lagi! Blantem-blantem, tapi spoltif! Ngawul’u!”
(Dor-dor!)—“Beres, Gong!”


Buta-buta mala
Pada sirnafana
Gentur tutur
Bangun catur


SEA-LAB OCEANOCULTURE.—Laksamana Antasena yang bergelar Sang Hyang Segara Rekayasa menggegerkan dunia berkat penemuan Sistem Hankam Dasar Samudra, serta Oceanomigration demi mengatasi masalah kepadatan pen-duduk masadepan dengan merekacipta Gedung Pencakar Laut. Eksperimentasi fantastik semodel itu menyebabkan pro dan kontra di seluruh penjuru dunia. Tidaklah gaib-ajaib jika Girinata, Presiden Sorgaloka, turun tangan.

GIRINATA: O Jagat Dewa Batara! Antasena—hentikan eksperimen itu! Usah mendahului karsa! Dan lepaskan gelar Sang Hyang yang kau sandang.

ANTASENA: Maaf, tidak bisa! Eksperimen bukan sekedar sok cendekia. Gelar bukan gagah-gagahan! Ini demi kehidupan.

GIRINATA: Babo-khhk-cuah! Kurang ajar! Apa kau tak takut pada pasukan multisemesta dari Jagat Triloka?

ANTASENA: Maaf, Tuan! Tidak!

GIRINATA: Keparat! Tangkap!

“Siap! Indra, Bayu, Brahma, Wisnu, Surya, Sambu, Kama-jaya, Yamadipati, Temboro, Trembuku—sergap si Antasena!”
“Siap! Siap! Siap! Siap!”
(BLAARR!)
“O Jagat Dewa Batara!” + “Mundur! Bayu Mundur!”
“Bergenzong-pada-ndoyong, si Antasena tak tertaklukkan! Benar-benar adidaya ia! Celaka! Ini urusan Ki Semar, Tuan!”
“Tuh Ki Semar datang!”


SEMAR: Ada apa, Tuan? Bakutempur sama Pak Antasena rupanya. Maaf, Maha Sang Hyang! Demi pranata alam—Sang Hyang Segara Rekayasa sebenarnya bergerak atas kuasa Sang Hyang Wenang. Nah, Pak Antasena—tugas telah sampai! Wenang mencipta, Wenang merekayasa, Wenang memelihara. Bukankah begitu, Maha Sang Hyang?

“Soal LBH—romo pakarnya!”
“LBH itu apaan sih, Truk?”
“LBH: Lakon Bangsa Hyang.”


SANG HYANG WENANG: Ki Semar benar! Manggayuh karahar-janing praja, memayu-hayuning bawana.

Petik bunga guna
Intisari merdeka


Semarang, 28 Mei 1991 Ki Harsono Siswocarito

Selengkapnya....

Balada Utopia Dr Sucitra


Dene utamaning nata
Berbudi bawa laksana
Dene utamaning praja
Adilmakmur paramarta


ATASANGIN.—Bersama Dekan FISIP Prof Dr Kumbayana, Dr Sucitra menghadap Rektor Universitas Atasangin Prof Dr Baratwaja.

BARATWAJA: Sungguh terkejut saya membaca surat permohonan sodara untuk mengundurkan diri sebagai akademisi. Kenapa, Dr Sucitra?

SUCITRA: Saya mau alih profesi.

BARATWAJA: Profesi apa?

SUCITRA: Politisi!

KUMBAYANA: Jadi politikus? Nah, hahaha… hebat! Utopia luar biasa! Tapi, apa sudah anda pikirkan betul? Memang anda teoretisi ilmu sosial politik, tapi bukan praktisi. Bisa apa?

SUCITRA: Justru itu! Saya mau berpolitik praktis. Dalam dunia akademisi tak ada peluang untuk jadi politisi. Saya butuh kebebasan berpolitik, bukan cuma kebebasan mimbar!

BARATWAJA: Apa ada?

SUCITRA: Ada di luar negeri! Saya mau beremigrasi ke negara pengusung demokrasi.

BARATWAJA: Atasangin juga negara demokrasi. Mau ke mana lagi sodara hendak mencari demokrasi?

SUCITRA: Hmh! Demokrasi Atasangin semu-feodal! Saya mau ke Pancala. Di sana lagi suksesi. Presiden Pancala Jendral Gandabayu hendak melakukan suksesi demokratis.

KUMBAYANA: Apa itu?

SUCITRA: Siapapun bisa jadi presiden Pancala, tentu saja jika punya power mampu menandingi Jendral Gandamana.

KUMBAYANA: Nah, hahaha… power apa andalan anda? Power Wagon, Power Metal, Power Slave? Nah, hahaha… apa coba? Teori? Gombal! Teori handal macam apapun hanya ada dalam wacana, dan semua wacana terpisah dari realita. Lebih radikal, tiada makna di luar wacana! Nah, Citra gak usah mimpi! Realistislah! Mencerdaskan kehidupan bangsa lebih mulia daripada utopia. Nah, hahaha.…

SUCITRA: Maaf, Prof Yan! Saya segan dan enggan berdebat dengan anda. Acuan teori kita beda. Saya sependapat dengan Michel Foucault! Wacana dan kuasa tidak terpisah dari realita. Ini perlu bukti! Prof Dr Baratwaja—saya mohon pamit!

BARATWAJA: Baik, selamat jalan!

SUCITRA: Permisi, Prof Yan.

KUMBAYANA: Mari-mari, semoga sukses! Jika berhasil, nanti kuikuti jejakmu. Nah, hahaha… good bye!

SUCITRA: G’bye!

Segera Sucitra
Menuju Pancala
Sayembara Pancala
Melawan Gandamana

PANCALA.—Presiden Gandabayu memanggil Menhankam Jendral Gandamana demi membahas perihal suksesi.

GANDABAYU: Bagaimana, Jendral Gandamana? Masih belum ada yang mampu menandingimu?

GANDAMANA: Belum, Pak! Tapi ini ada peserta baru. Dr Sucitra dari Atasangin, pakar besar ilmu sosial politik, dan … bujangan! Huahaha… silakan maju, Dr Sucitra.

SUCITRA: Terimakasih!

GANDABAYU: Sudah tahu aturan sayembara ini? Air-war, duel udara! Jika mampu menandingi kepiawaian tempur-udara Jendral Gandamana, sodara berhak diangkat jadi presiden Pancala dan berhak memperistri putriku Dewi Gandawati.

SUCITRA: Hah?

GANDAMANA: Huahahaha… usah kaget! Masa mau adutinju? Kuno! Mari adulaga di angkasa! Kau boleh pilih pesawat tempur yang kau suka.

SUCITRA: Mati aku! Baiklah, saya coba.

GANDAMANA: Silakan!

Tandang gonera
Sang Gandamana
Seluruh warga
Menonton laga

PALAGAN.—Jendral Gandamana melangkah gagah ke arah pesawat tempur supermewah. Dr Sucitra ragu! Sayembara ini tak terkira olehnya. Benaknya cuma terisi teori politik, tak kenal strategi tempur. Mau mundur, malu! Daripada mundur, lebih baik tempur.

“Ayo, Sucitra!”
“Siap!” Blaas!

Dua pesawat
Pesat-kebat

“Hidup, Jendral Ganda!” “Hidup! Hidup!” (Prok! Prok! Prok! Suit-suit!) “Wah, nekad!” (Teet!) “Trompetnya, Mas—budeg nih!” (Toeet!) “Diancuk!” (Buk!) “Adoow!” (Bruk!) “Rasain lo!”
“Sst! Brisik!”
“Caaang-kacaaang! Kacang, Om?” “Gak!” “Rokok, tisu, Getsbi!” “Gak!” (Jdak!) “Aduh, asu! Gak beli, ninju!” “Hahaha…!”
(Duut!) “Kentut lagi lo!” (Hfuh!) “Dasar!”
“Diem! Ribut mulu! Eh, taruhan yo?”
“Oke, gue jagoin Om Ganda!” (Cplek!) “Siplah! Gue, Om Goen!” “Lho!” “Heheheh…!”
(Zoss!) “Luput” (Blar!)
(Plas!) “Kena!” (Glar!)

Pesawat tempur
Sucitra hancur

“Mampus ya dia?”
“Entah la ya!”

Gandamana jaya
Jago sayembara
Ganti peristiwa
Tanda gara-gara

KARANG KABOLOTAN.—Dingin angin sepoi di tebing bukit. Pucuk gunung tertutup kabut. Dari sebuah gubuk ilalang mengumandang dendangria. Tembang pelipur bimbang! Pana-kawan pada bercandaria.

Wayang mana, wayang mana?
Wayang eta nu pang jagona
Hayang mana, hayang mana?
Hayang eta nu pang gedena

“Ehm, brr… dingin! Berburu ame Pak Pandu, sial gue! Ia dapetnya gede terus; gue, kecil mulu.”
“Iye aje, Truk! Dia pake bedil, lo pake ketapel. Beda!”
“Ahihi… tradisionil!”
“Mana mampu menyamai Pak Pandu: perangkat modern! Alat lebih dari bakat. Biar bakat hebat, tanpa alat temtu lambat. Biasa serba santai, ya nerimo. Budaya statis mau melawan budaya dinamis. Mana bisa?”
“Iya-iya! Romo mana?”
“Sama Pak Pandu!”
“Ke sana, yo?”

PANDU: Kurasa liburku sudah cukup, Ki Semar. Marilah ke Astina.

SEMAR: Mari, Pak!—Ayo, Le!

“Asiiik!” “Sip, Mo!”

Pandu berjalan
Merambah hutan
Halang terjang
Perang kembang

ALASAMAR.—Pandu Dewanata berperang. Rintang-halang ia terjang. Para penyerang lintangpukang. Tungganglanggang!

“Bah, keparat! H-hadapi a-aku Gendir Penjalin!”
“O, Cakil—hajar, Gong!”
(Pletak!) “Aduh!” (Cpret!) “Rasain!” (Bletak!) “Wadow! M-mati a-k-u….” (Bluk!)
“Hehe… segitu doang! Lagi nih!” (Cpret! Thaak!) “Waaw… ketapel lo kena gue nih,
Gong! Ngawur lo!” “Hehe…!”
“Babo-babo! Pragalba, Rambutgeni, Padasgempal, Jurang-rawah, Buta Terong, Galiuk—serbu!" (Jlap! Jlap! Jlap! Jlap!)
(Plas!) “Makan tu bom!”
(BLAARR!)

Para Buta
Pada fana
Tampaklah orang
Melayang-layang

“Eh, lihat, Truk! Tuh!”
“Hah? Parasut jatuh!”

Panakawan
Berlarian

PANDU: Anda siapa?

SUCITRA: Saya Sucitra. Haduh… untung saya selamat! O ya, anda siapa?

PANDU: Saya Pandu dan ini Ki Semar. Kenapa anda bisa jatuh di sini?

SUCITRA: Yeah… saya kalah sayembara. Sialdangkal! Saya tak mampu menandingi kepiawaian air-war Jendral Gandamana dari Pancala. Ia luarbiasa!

PANDU: O, memang! Apalagi jika ia memakai jet tempur Wungkalbener, ia tak tertandingi. Itulah kekuatan Pancala! Namun jika anda mau, saya bersedia membantu.

SUCITRA: Hah? Tapi—?

SEMAR: Em, hahahah… tak usah samar, Pak Citra! Jendral Pandu Dewanata ini Presiden Astina. Beliau ahli polemologi, pakarakbar budaya tempur.

SUCITRA: O, baiklah!

PANDU: Tandingan jet tempur Wungkalbener itu cuma jet tempur Narantaka. Ini logika perwira. Namun keperwiraan perlu disertai kecendekiaan. Tempur bukan cuma adukeras, namun juga aducerdas. Modernitas Pancala cuma bisa diatasi dengan posmodernitas. Ingat Powershift Toffler, dan War and Anti-War bisa diacu.

SUCITRA: Wah, kawiryan tidak terlepas dari kawinasisan. Terlalu lelap saya tertidur di menaragading politik. Terlena dari realita, hidup dalam utopia. Adalah sebuah anugerah, saya bisa bersua Jendral Pandu Dewanata.

PANDU: Bawa jet Narantaka. Semoga sukses! Berangkatlah!

SUCITRA: Terimakasih!

Pesat Narantaka
Melesat angkasa
Kali ini Sucitra
Digdaya di udara

PANCALA.—Dr Sucitra menang! Seusai sayembara ia di-anugerahi pangkat Jendral, menikah dengan Dewi Gandawati, dan dilantik menjadi presiden Pancala. Kini ia bernama Jendral Drupada. Dan dalam pemerintahannya, ia menyetujui Jendral Gandamana diangkat menjadi Wapres.

Petik kembang sinebaran
Tutup lawang singgotaka


Semarang, 4 Pebruari 1994 Ki Harsono Siswocarito

Selengkapnya....

Prof Dr Bima Tanayatatwa

Anjrah kang puspita rum
Kasliring samirana mrih
Sekar mekar manekawarna
Maweh bebungahing driya


ASTINA.—Rektor Universitas Negeri Sokalima Prof Dr Durna, Dirjen Dikti Prof Dr Krepa, dan Mendikbud Prof Dr Bisma menghadap President Duryudana.

KREPA: The Yang Mulia Bapak Presiden Duryudana, Bapak Mendikbud Prof Dr Bisma yang terhormat, Bapak Rektor UNS Prof Dr Durna yang tercinta, serta para tokoh Kurawa yang kusukai—selamat pagi! Dalam kesempatan ini kami sengaja menghadap Bapak Presiden demi melaporkan adanya Perguruan Tinggi Swasta Mandiri, Universitas Bayupitu, di Kurusetra, yang direktori oleh Prof Dr Bima Tanayatatwa. PTSM itu menjadi rival berat PTN Astina. Begitu kan, Prof?

DURNA: Benar! Bahkan lebih dari itu, PTSM jadi ancaman bagi stabilitas nasional Astina kerna telah menjadikan kampus sebagai ajang bisnis dan politik praktis.

BISMA: Hmh! Tak etis kampus jadi ajang bisnis. Bisa pelik jika kampus jadi ajang politik.

DURYUDANA: Sebahaya itukah, Prof Dur?

SAKUNI: Prof Dur! Prof Dur! Melamun! Gaji naik masih murungrenung, getirpikir, suntrutkusut melulu. Hehehe… ada masalah pribadi ya, Prof?

DURNA: Ah, Pak Kun bisa aja. Durna sudah bersihdiri dari kepentingan pribadi atau famili demi negeri. Bukan demi gaji! Hidup Durna diabdibaktikan demi kemajuan pendidikan. Hasilnya tak sia-sia—Sokalima mampu mencetak kopral sampai jendral, ketua RT sampai direktur PT, baik pejabat, birokrat, teknokrat, maupun konglomerat. Namun, ya ampun! Haruskah kini PTN elite Astina hancur mundur? No way ! Lebih baik PTSM itu ditutup! Berbahaya!

KARNA: Maaf, Pak! Pendidikan adalah hak azasi manusia. Lagi pula, Universitas Bayupitu berdiri di wilayah Amarta.

BALADEWA: Heh, Karno! Karno! Usah lancang! Kau jadi gubernur berkat memo Bapak Pres Dur! Jadi pejabat berkat memperalat istri! Naik pangkat berkat katebelece mertua! Mau bertingkah! Krrk-cuah! Tak tahu diri!

SAKUNI: Hehehe… Astina tidak mengakui kedaulatan Amarta. Kepentingan Kurawa di atas segalanya! Pak Karna harap mafhum.

DURNA: Nah, hahaha… tepat! Lebih jauh, dampak PTSM telah melahirkan jenis profesor slebor, lektor door to door, asisten impoten, ilmuwan asongan, akibat pahitpailit sepi duit jauh doku. Lantaran tiada lagi bonus panitia, uang jaga, dan duit koreksi ujian negara; tiada lagi duit-oli akreditasi! Nah, hahaha… gitu kan, Prof Krepa?

KREPA: Ya! Biar credit point penuh, credit coin selalu butuh.

DURYUDANA: Baik! Tutup Bayupitu! Bubarkan! Bila perlu hancurkan!

DURNA: Nah, hahaha… acc!

DURYUDANA: Kapten Karto, kontek Angkatan Perang Astina!

KARTAMARMA: Siap laksanakan!

“Divisi Banjarjumut, Divisi Banyutunalang, Divisi Bana-keling, Divisi Ujunglautan, Divisi Awangga, Divisi Mandraka, Divisi Mandura—siap bergerak!”
“Laksanakan!”


Siaptegap sang Dursasana
Panglima pasukan Astina!
Kurawa menyerbu kampus
Mahasiswa bikin mampus

UNIVERSITAS BAYUPITU, AMARTA.—Rektor Prof Dr Bima Tanayatatwa mengundang Prof Bayu Kanetra pakar pithe-coidology, Prof Bayu Maningrat pakar deusoidology, Prof Bayu Pulasia pakar gigantoidology, Prof Bayu Estibanda pakar monsteroidology, Prof Bayu Maruta pakar austroculture, Prof Bayu Baruna pakar oceanoculture, dan Prof Bayu Maenaka pakar neoculture.

BIMA: Para Profesor yang terhormat! Apakah saudara-saudara menyesalkan tindakan pasukan Kurawa?

KANETRA: Tentu! Tapi anggap saja itu dagelan. Toh kita mampu mempertahankan diri.

PULASIA: Huahaha… benar! Serbuan itu tiada arti bagi biomacrobot karyarekayasaku.

ESTIBANDA: Pun jua monsterobot masadepan mampu memporakporandakan itu pasukan.

MANINGRAT: Dasar Kurawa! Wayang picisan begitu rupa berani jual gaya. Berlaga! Khhkcuah!

MARUTA: Perlu dikasih pelajaran, Prof! Biar nyaho!

BARUNA: Betul! Emangnya ilmu pengetahuan cuma ada di Universitas Negeri Sokalima, teknologi cuma ada di Universitas Talkanda? Sombong!

BIMA: Baiklah! Tindakan militer Astina perlu dituntut. Siapkan pasukan tempur biomacrobot dan monsterobot buat menyerbu Astina.

PULASIA: Baik!

ESTIBANDA: OK!

“Divisi Gigantoid, Divisi Monsteroid, serta Divisi Pithe-coid—siap berangkat!”
“Lakukan!”


Serdadu buatan bergerak
Penuh kekuatan menembak
Huru-hara
Gara-gara

TUMARITIS, DESA DADAPAN.—Panakawan pada bercanda.

“Helo, Frens—ahihi… ogut Bagong! Okap kokab? Sip! Rin, Nur—gimokan yudisium? Hebring-hebring so pasti! Ahihi… mane sih ba’ang Petruk? Sokin dong!”
“Hehe… mudik ngurban ya, Gong? Pake mrokem segala! Neko-neko! Biasa manggil kang, malah njangkar, kini ba’ang.”
“Lho kok nepsong?”
“Bukan sewot! Pake bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jika mau berbahasa Inggris pun pake yang baik dan benar.”
“Prex! Sok ahli! Sok linguis! Emangnya ogut orang kur-susan. Tau gue gak katam es-de pake diguruin. Cuih! Biar salah asal indah. Bikin kesalsebal aje!”
“Hehehe… Gong, usah melotot, ntar copot tuh mata.”
“Biarin!”
“Lu tau, Gong? Sugih teknik miskin kritik itu bukan seni yang baik. Tulisan kaya gaya tanpa idea bukanlah sastra.”
(Duuut!)
“Phuah! Kentut lu!”


Yu yus tu bi mai parti dol
Bat now yu sey de parti’s oper

“Gareng lagi sok rock, gak faseh aje pake ngoceh.”
“Huaha… Yeah! K’yu.”
“Ude—de bokaps kams!”

SEMAR: Mari melacak jejak Pak Bima. Kemana perginya dia, Pak Jun?

ARJUNA: Entah, Pak Semar.

Panakawan dan Arjuna
Merambah jalan rimba
Raksasabala kagiri-giri
Malasatru sang paraguru

RIMBA PRINGGACALA.—Di tengah hutan Jendral Arjuna dan Panakawan menghadapi pencegatan dan perampokan.

“L-liat, Lung! A-ada m-mangsa, ayo dibom, Gog!”
“Ko’e! Eh, sst! Awas itu
gajah Pandawa.”
(Jleg!)—“Brenti!”
“Hmh, siapa kau?”
“Heh, m-masa
k-kau tak k-kenal tokoh se-s-sebeken Cakil? J-jangan bacut!—(Dor!)—“Aakkhh…
mokat go’ut, Gooog!”
“Hah, Cakil ko’it! Bodat! Lelaki cantik brani ngaksi.
Brokis! Gua caw lu—hiiaatt!”—(Gusrak!) + (Jdak!)—“Aduh! Benjut gua… aduuhh.” +
“Awas Bragalba!”—(Dor!)
“Nuuh, Mrangalma ngo’it! Nyangil ngonyor! Ngawat
nih—la’i, Ngoog!”—(Pletak!)—“Anuh! Ngo’it angu!”—(Buzrak!)
“Ahihi… Truk,
habis tuh Buta GPK.”
“Hehehe… culun sih!”
Buta-buta ribut
Semua pada maut
Dalam rimba Arjuna
Bertemu Prof Durna

DURNA: Nah, hahaha… kebetulan kita bersua, Jendral Juna.

ARJUNA: Lho! Prof Dur mau ke—?

DURNA: Gawat, Pak Jun! Saya pergi dari Sokalima kerna ada kudeta di Astina. Pres Dur digusur! Kurawa pada kabur!

ARJUNA: Siapa pelakunya?

DURNA: Tentara buatan—serdadu biomacrobot dan monsterobot dari Divisi… ah, apa namanya? Pokoknya itu semua produk Universitas Bayupitu. Tolonglah, Jendral Juna—selamatkan almamater.

ARJUNA: Baik! Pak Semar—mari ke Astina.

SEMAR: Mari, Pak! Ayo, le!

“Oke!” + “Yo’e!” + “Asoy!”

Buru-buru Arjuna
Menuju ke Astina
Geger Bayupitu
Geser Balakuru

ASTINA.— Arjuna menghadap Prof Dr Bima Tanayatatwa.

ARJUNA: Maaf, Prof Bima—tindakan ini terlalu berani dan melancangi kebijakan Pandawa. Atas nama bangsa Pandawa, kumohon pemerintahan Kurawa dipulihkan.

BIMA: Hmh, OK! Asal Regime Kurawa tidak merongrong hak otonomi Universitas Bayupitu. Di samping itu, kamu cari dulu Jendral Bratasena yang diculik dan ditenggelamkan di tengah lautan oleh Mariner Astina.

ARJUNA: Hah? Jadi, Jendral Bratasena diculik Kurawa! Aduh, gemana, Pak Semar?

SEMAR: Em-em-em, ahahaha… usah kuatir, Jendral. Tan samar pamoring suksma anuksma, Prof Dr Bima Tanayatatwa inilah Jendral Bratasena. Dan Prof Bayu Kanetra adalah Prof emiritus Kapiwara dari Universitas Kendalisada, alias Jendral Purnawirawan Anoman.

BIMA: Benar kamu, Mar!

Dan jiwabesar Semar
Maweh obor profesor

Semarang, 31 Juli - 6 Agustus 1991 Ki Harsono Siswocarito

Selengkapnya....

Nurkala Kalimantra Geger di Suralaya

Langit kelir tabir Gusti
Tabire ya wong ngawayang
Wayang manut maring dalang
Dalange murba ing wayang
Kelire ayon sabita Gusti


MERCUKUNDA, SURALAYA.—Sang Hyang Pramesti Guru Jagatnata, ya Sang Hyang Otipati Penguasa Jagat Triloka, duduk di atas singgasana Kursi Gading Gilang Kencana, dihadap para dewa, para batara, para sang hyang, para bidadara, para hapsara seluruh warga Sorgaloka.

JAGATNATA: Kakang Panji Narada, Kang—sesungguhnya apa yang terjadi di Kahyangan ini? Magma Candradimuka ber-golak, lava menggelegak, gempa berderak, Gerbang Selama-tangkep retak, Istana rusakporak. Prahara apa ini, Kang Panji?

NARADA: Aduh, Adi Guru—ampun seribu ampun. Ini semua gargara balamala raksasa dari negeri Tunggulwesi yang dipimpin oleh Jendral Nurkala Kalimantra. Dia meminta tahta surga. Begitu Gusti Pramesti.

JAGATNATA: O jagat dewa batara! Betapa lancang ia. Kenapa tidak dicekal?

NARADA: Sudah, Adi Guru—Cingkarabala dan Balaupata berhasil membendung balamala raksasa itu dengan menutup Gerbang Selamatangkep. Dan kini mereka berada di padang Repatkepanasan. Untuk tindak-lanjut kami menunggu petunjuk Adi Guru.

JAGATNATA: Jangan dibiarkan mahluk itu menginjak-injak Kahyangan. Suruh pergi! Usir! Bila perlu basmi!

NARADA: Baik, Gusti! Permisi—Indra!

INDRA: Siap!

NARADA: Siapkan seluruh kekuatan tempur Suralaya Demi membasmi balamala Nurkala Kalimantra.

INDRA: Siap!

“Para dewa siap bertindak: Batara Brama, Batara Wisnu, Batara Surya, Batara Bayu, Batara Kamajaya, Batara Sambu, Batara Kuwera, Batara Yamadipati, Batara Aswan, Batara Aswin, Batara Bermana, Batara Bermani, Batara Bermana-kanda, Batara Citragada, Batara Citrasena, Batara Sambodana, Batara Rawiatmaja, Batara Karaba, Hyang Patuk, Hyang Tem-boro, Hyang Dewanggana, Hyang Dewasana, Hyang Dewang-kara, Hyang Sanggana, Hyang Pancadewa, Hyang Pancaweda, Hyang Dewatama,—”
“Siap! Siap! Siap! Siap!—”


Siapsiaga para dewa
Basmi mala Triloka!

Buta-buta mala
Bala pada laga

REPATKEPANASAN.—Jendral Nurkala Kalimantra menanti dalam benci, menunggu penuh nafsu.

KALIMANTRA: Grrrk-cuah-huahaha… e, e, bojleng-bojleng iblis najis pada bengis! Mana si Jagatnata? Pasti sembunyi di ketiak bidadari! Takut padaku! Huahaha… model begitu patut maharajadiraja para dewa? Turun tahta sajalah, Jagatnata! Serahkan padaku! Jika tidak, Suralaya kubuat kiamat dahsyat!

KALAMURKA: Tobat, Gusti—lihat! Gerbang Selamatangkep terbuka. Para dewa menyatakan perang!

KALIMANTRA: Grrrk-cuah! Laknatkeparat! Serbu!

“Serbu! Serbu! Serbu! Serbuuu—”
Buta maju
Menyerbu!

Berang! Garang!
Buta menyerang!

“Lu brani ame dewa?”
“Why not? Lu jago, gue jago! Lu jantan, gue jantan! Buktikan: siapa lebih jantan, siapa paling jagoan!”
“Khhk-cuah! Buta edan!”—(Clap!)—“Ciiaatt!”—(Jder!)
Serbu tinju seru!
(Bet!)—“Hih!”—(Dez! Dig! Bugh!)—“Hegkh!”—(Bruk!)
“Ayo bangun, Dewa!”
“D-du-uh… tob-ba-at….”
Sepak telak! (Brak!)—“Aakkhh!”
Tanpa kutik lagi ia mati suri.
“Brama kalah! Bayu mundur!”
“Para dewa mundur! Mundur!”
“Mundur! Mundur! Mundur!—”

NARADA: Celaka! Para dewa kalah digdaya. Wisnu!

WISNU: Yes, Sir!

NARADA: Maju!

WISNU: Siap!

“Nurkala Kalimantra! Hadapi aku Batara Wisnu!”
“Siapa? Wisnu? Ayo maju—mana jago dewa? Grrrk-cuah! Lho kok tidur? O tiarap! Ngapain, Wisnu?”
“Usah tanya mala! Rasakan rudal Cakra—mampus jiwamu!”—(Wuzz! Clap!)
(Krep!)—“Huahaha… rudal model beginian sih mana mempan!”—(Pluk! Ccss!)
“Edan! Mejen, Wisnu!”
“Aduuhh celakaaa—”
“Lari! Lari! Lari!”

Dewa tawur
Pada mabur

NARADA: Aduh, Adi Guru—celaka! Para dewa tiada daya; para hyang tiada menang. Bagaimana sekarang, Adi Guru?

JAGATNATA: Kakang Panji Narada harap segera membumi demi mencari jago dewata—lelaki langit jejaka jagat!

NARADA: Baik, Adi Guru!

Kala tiba gara-gara:
Pertanda madiacerita

KARANG KABOLOTAN.—Desa luar kota. Dusun buhun. Dukuh jauh sentuh. Terpencil! Di tengah huma, di sebuah lereng, di lengkung gunung, ada sebuah gubug beratap ilalang. Itulah rumah Ki Semar Badranaya beserta para putra Panakawan Amarta. Tanpa polusi kota, mereka bahagia. Hidup penuh candaria.

Lir ilir, lir ilir
Tandure wus sumilir

“Anu, Truk—sinilah! Bawa golok dan bambu.”
“Buat apa?
“Buat api! Biar anget: sore—kabut mulai turun. Eh, Bagong mana?”
“Entah! Cari babi, ‘kali? Cuaca begini: banyak kutu-jagung hama huma.”
“Lha, Romo—ke mana?”
“Nunggu Pak Jun!”
“Di puncak bukit?”
“Ho-oh, brrr… dingin!”
“Ni bakar jagung!”
“Ah, bosan! Suasana begini: kangen kekasih! Hehehe….”

Cinta, ia dipuja
Rindu, ia diburu

“Indah, kasihku!”
“Juilah!”

SEMAR: Gemana, Pak Jun?

ARJUNA: Parasut Tunggulnaga penyelamat rudal Ardadedali memang jatuh di bukit ini. Lihat, ini dia! Untung tidak meledak bersama pesawat tempur pengangkut Ardadedali yang di-tembak jatuh musuh.

SEMAR: O, o, o.

ARJUNA: Kini, mari ke Indraprasta. Semoga kanda Yudistira pun sudah menemukan kembali pusaka negara Kalimasada.

SEMAR: Mari, Pak.—Le, ayo kita ke kota!

“Nah!” “Beres, Mo!”
“Buru, Gong. Kota!”
Turun gunung Arjuna
Rambah belantararaya

Cekal Cakil
Si Butajail

MARGASOPANA.—Jendral Arjuna dan Panakawan menghadapi penodongan.

“Brenti! S-stop! S-siapa nama? M-mau ke mana? D-dari mana? Lima ribu! Cepat!”
“Elho! Nodong?”
“Hantam, Gong!”
(Jduh!)—“Ghk!”
“Pragalba, Rambutgeni, Galiuk, Bita Terong—maju serbu!”
“Siap!” “Beres!” “Szip!” “O’eh!”—(Jlap! Jlap! Jlap!)—“Awas!”—(Klik!)—“Hiiaa!”—(Dreder-der...!)—“Mampus lu!”
“Hehehe… Buto bego!”

Buta-buta pada sirnaperlaya
Lalu Arjuna Bersua Narada

NARADA: Eladah… bergenzong anak wong bakal doboyong! Kebetulan, Jun—ketemu. Jua Ki Semar, hahaha… apa kabar?

SEMAR: Kabar kabur! Eh, Nar—dewa kok keluyuran? Di Kahyangan kurang kerjaan, ya?

NARADA: Aduh, Ki Semar—ketahuilah…. Kahyangan geger! Suralaya diserbu balamala Nurkala Kalimantra. Dewa kalah, parah, pasrah! Bidadari pada resah! Aku diutus mencari jago dewata di bumi ini. Begitulah, Ki Semar.

SEMAR: O, o, o… siapa tadi? Nurkala Kalimantra! Pantes! Dia masih satu silsilah dengan raksasaraja Kalimataya penyerbu Suralaya yang ditumpastuntas oleh mahapakar nuklir Prof Manumayasa. Saat ini tiada jago dewata kecuali Arjuna.

NARADA: Baik, Ki Semar! Gemana, Jun?

ARJUNA: Siap!

Buru Arjuna menuju
Suralaya malasatru

Ia luka. Mati!
Tan dukahati!

REPATKEPANASAN.—Rudal Ardadedali menembak telak Nurkala Kalimantra. Meledak!

“Kalimantra mati!”
“Hidup Arjuna!”

Kalimantra meniada
Kalimasada mengada


Semarang, 12 November 1991 Ki Harsono Siswocarito

Selengkapnya....

Gitadarma Dr Mintaraga

Kembang sungsang cahya kunang
Kadia lintang gilang gumilang
Tembang hyang pangreka dalang
Dadia piwulang wong ngawayang


MERCUKUNDA, SURALAYA.—Maharaja Tribuwana Sang Hyang Otipati Pramesti Guru Jagatgirinata ya Sang Hyang Manikmaya penguasa jagat pramudita duduk di atas tahta Dampar Kencana beralas permadani sutra berenda permata dihadap para dewa pemuka triloka.

GIRINATA: Kakang Panji Kanekaputra, kenapa petaka triloka belum jua reda? Malah terambah musibah. Batara pada susah, batari pada sedih; luka hapsara parah, duka hapsari perih. Ini mesti dipandegani, Kang Narada.

NARADA: Eladalah, Adi Guru—gawat! Cuaca seram-kelam, Candradimuka timbul tenggelam, para dewa tiada tentram, Tribuwana jadi terancam itu kerna balabuta utusan Jendral Niwatakawaca ditolak melamar Supraba. Mereka tak sudi kembali ke negeri Manimantaka jika tidak memboyong sang dewi. Begitu kan, Indra?

INDRA: Benar! Supraba menampik kasih menolak cinta Niwatakawaca. Aku sendiri tak sudi bermenantu dia. Khhkcuh! Mana bisa Buta bermertua Dewa? Durhaka!

GIRINATA: O jagat dewa batara! Dasar balabuta tak kenal etika. Kurangajar benar ia. Jika tak bisa diajar, hajar! Jika tak mau mundur, gusur! Jika malah memaksa, siksa! Usir mereka dari Suralaya.

NARADA: Baik, Gusti!—Bayu! Siapkan tentara triloka. Basmi balabuta Niwatakawaca!

BAYU: Siap!

“Batara Brama, Batara Surya, Batara Wisnu, Batara Bayu, Batara Sambu, Batara Kamajaya, Batara Yamadipati, Batara Kuwera, Batara Karaba, Batara Bermana, Batara Bermani, Batara Aswan, Batara Aswin, Batara Citragada, Batara Citrasena, Batara Sambodana, Batara Rawiatmaja, Batara Bermanakanda, Hyang Dewatama, Hyang Dewanggana, Hyang Dewasana, Hyang Dewangkara, Hyang Pancadewa, Hyang Pancaweda, Hyang Patuk, Hyang Temboro,—siap gerak!”

“Siap! Siap! Siap!—”

Bala Tribuwana
Pada siapsiaga

Bala buta
Pada laga

GERBANG SELAMATANGKEP.—Balabuta siap adulaga demi memaksa para dewa menyerahkan Supraba. Tatalaga Jendral Krudaksa, Panglima Manimantaka, tampak megadigdaya. Di sisi kiri berdiri Kolonel Duskerta; di sebelah kanan, Kapten Wirakta; dan di belakang, Letnan Kalawaktra.

KRUDAKSA: Krrkzuh! Dewa-dewa! Menolak cinta Gusti Niwatakawaca berarti meminta petaka. Jika Supraba tidak diserahkan, Kahyangan Solendrabawana akan kubuat kiamat! Bahkan Suralaya akan kurusakporak, leburmumur, dan sirna-binasa. Krrkzuh!

DUSKERTA: Betul! Usah sok dewa! Buta boleh berbini bidadari. Buat perbaikan keturunan! Biar buta tengik, bini cantik; biar Buta bau, bini ayu; biar Buta, bini Supraba. Kan asik! Hehehe….

WIRAKTA: Iya! Supraba emang moy. Dasar bidadari—cantik tak tersaingi, megajelita tiada cela! Oh, Supradin, eh, Suprana, haah! Salah mulu—Supra apa?

KALAWAKTRA: Walakadalah, Gusti! Lihat! Gapura terbuka! Para dewa angkat senjata!

KRUDAKSA: Keparat! Serbu!

“Serbu! Serbu! Serbu!—”

Serbu buta
Satru dewa

Berangtendang!
Serangterjang!

“Ayo maju, Dewa!”
“Brani ame Brama?”
“Brama? O, ini jago Deksinapati: Dewa api kok kakubeku? Ayo maju! Heaah!”—(Clap!)
Serbutinju (Bugh!) sepakporak (Blak!)—“Rasain dewa—heaah!”—(Blar!) tamparmemar! “Tobaatt!”

Tatu terhitung!
Luka terbilang!

“Mana jago dewa?”
“Bayu: ayo maju!”
Adutinju seru (Jduk!) serta sepakgalak telak (Jdak!)—‘Hgkh! Hoekh ooo hfuh! Buta gila! Membokong! Aduh… ooo! Tobaat!”—(Bruk!)
“Celaka, Surya!” + “Wisnu, mundur!”

Dewa tempur
Pada mundur

NARADA: Celaka, Adi Guru! Balabuta gagahmegadigdaya mahasakti mandraguna! Para dewa tak berdaya. Gemana ini?

GIRINATA: Tenang, Kang Panji! Indra, cari jago dewata. Pergilah ke Indrakila—temui Prof Mintaraga.

Indra: Baik, Gusti!

Batara Indra
Ke Indrakila

Pada madiacerita
Ketika gara-gara

KARANG KADEMPEL.—Kampung di punggung gunung ber-payung lembayung. Cuaca Cerahmerah! Kubah bukit Indrakila tampak indahmegah! Terlantun senandung kidung dari dalam gubuk ijuk. Panakawan pada berwawancanda.

Gandasari buah ati
Pujaan urang sadaya
Buku pinuh kupapaes
Alus jadi patamanan

“Ahihi… Asmarandana Sunda! Oke jugalah. Ehm, nunggu bos lagi konsentrasi, kontemplasi, en meditasi—gini nih: aneh! Eh, kemaren digoda cewek Suralaya, ia cuek aja! Bidadari cantik tak ia lirik! Malah gua yang manatahan. Ahihi….”
“Gitu itu, Gong—prihatin: taparekacipta demi manggayuh karaharjaning praja mamayuayuning bawana.”
“Eh, Reng—ada apa?”
“Gawat! Babi di Lab!”
“Hah? Ayo kita liat!”

MINTARAGA: Ia kutembak!

PADYA: Aku, penembaknya!

SEMAR: Sudahlah, Indra!

INDRA: Hahaha… maaf, Ki Semar—saya menyamar dan menggoda Mintaraga demi Suralaya. Ia diminta menjadi jago dewata guna menumpastuntas balabuta Niwatakawaca. Gemana, Prof?

MINTARAGA: OK. Saya minta Jeng Supraba ikutserta.

INDRA: Baiklah.

Mintaraga segera
Menunaikan darma

Serang terjang
Perang kembang

RIMBAMALA.—Mintaraga aduyuda dengan bala Manimantaka.

“B-brenti! Siapa lo?”
“Gong, embat aja yo!”
“Siplah!”—(Duk! Bugh!) Ambruktakluk (Blug! Gludug!)—“Nih rasain! Hih!”—(Jplak! Gdubrak!)—“Aaawww!”
“Bah! Keparat! Kaladurga, Kaladurjana, Kaladuraksa, Kala-durmala, Kalastuwila, Kaladaksa, Kaladarba, Kalagarba, Kala-duskerta, Kaladusta, Kaladursila—majuserbu!”
“Reng, embat granat!” + “Okelah!”—(Plas!)

(BLAARR!)

Balabuta
Fanalaga

Dan tak lama
Supraba tiba

SUPRABA: Helo, Prof! Ngapain sih gue ikut? Gue takut ame Buta. Hiiyy… jijay!

MINTARAGA: Emansipasi! Ini kan sengketa cinta yang jadi konflik politik multipelik. Wanita cantik, asal cerdik, bisa men-jadi aset politik. Coba amati! Dengan dalih ditolak cinta, Niwa-takawaca hendak melabrak Suralaya. Resistensi libido menjadi agresi destrudo. Bahaya! Ia mesti ditembaktelak! Nah, biar buka rahasia, anda rayu ia—puji sampai kekihati, goda hingga lupalena, rajuk biar mabuktakluk!

SUPRABA: OK.

Bersama mereka
Ke Manimantaka

Gita asmara buta
Ala Niwatakawaca

MANIMANTAKA.—Seketika mukamurka Jendral Niwatakawaca tampak sukaria bersua dengan Supraba.

NIWATAKAWACA: Hait, Supraba! Huahahaha… akhirnya dikau datang, oh… Supraba, bidadari cantikmultisimpatik, gadis manislagiromantis, dara eloksemokmontok, perawan rupawan-nanmenawan, wanita jelitamahajuita, oh… Supraba, dilirik asik, dipandang senang, ditatap sedap, oh… Supraba, dari dulu aku rindu, sejak lama saya cinta, oh… Supraba, coba saya kurang apa? Maharaja, kayaraya, oh… Supraba, saya memang hmh! Dikau tau itu? Huahahaha….

SUPRABA: So pasti, Oom! Wow! Manimantaka indahmewah mahamegah serba raksasa! Nyesel gue gak dari dulu mau ame Oom. Huuh, papi sih, neko-neko! Maafin ya, Oom? Bener deh gue cinta ame Oom. Biar Buta, Oom raja, kaya, perkasa….

NIWATAKAWACA: Huahahaha… betul, oh… Supraba, siapa pun tak mampu mengungguliku! Aku tangguhplusampuh, saya hebatmahadahsyat, gua gagahmegadigdaya, oh… Supraba, kerna pintar merahasiakan kelemahan—

SUPRABA: Kelemahan apa?

NIWATAKAWACA: Lidah!

Rahasia terungkap
Pasopati menancap

Niwatakawaca
Sirnaperlaya



Semarang, 11 Maret 1993 Ki Harsono Siswocarito





Puja-pujiku hanya bagiNya
Pencipta semesta seisinya
Hormatku buat ki pujangga
Yang memahamuliakanNya

ASTINA.—Para Kurawa pada bicara bersama Jendral Bala-dewa, Presiden Mandura, membahas masalah petaka negara.

DURYUDANA: Dewan sidang yang mulia! Luapan samudra, musim hujan yang luarbiasa, hujanbadai, banjirbah, seolah mau menenggelamkan dunia, menjadi malabencana global. Apa hal ini juga menimpa negara Mandura?

BALADEWA: Iyo—sama! Malah beberapa daerah sudah lenyap dilahap luap samudra.

KARNA: Pun jua Propinsi Awangga! Nelayan jadi korban! Wisata bahari mati! Rusakporak di sana-sini.

DURYUDANA: Apa sebenarnya penyebab malabencana ini? Dan bagaimana cara mengatasinya?

SAKUNI: Maaf, Pak! Mungkin Prof Durna punya sumbangsih pemikiran otentik serta strategi pemecahan masalah yang jitu.

DURYUDANA: Benar, Prof Dur—silakan naik ke mimbar.

DURNA: Nah, hahaha… trims! Pakarakbar tak perlu berkoar di atas mimbar! Tut wuri handayani! Nah, hahaha… ketahuilah dewan sidang yang mulia—tak cuma Astina, Mandura, Awangga yang tertimpa malapetaka, malah sampai Bangladesh. Lebih mengerikan! Nah, secara teoritis—ada akibat, ada sebab! Semua mala hanyalah akibat dari suatu sebab. Samudra meluap, hujanbadai, banjirbah, malah gunung es di kedua kutub bumi pun mencair—itu semua kerna perbuatan manusia yang tak pernah peduli pada kelestarian lingkungnan hidup. Oknum tak bertanggungjawab!

BALADEWA: Krrk-cuah! Oknum keparat! Siapa, Prof?

DURNA: Menurut penelitian, itu semua akibat perbuatan si Antasena yang sedang bereksperimen di dasar samudra.

BALADEWA: Krrk-cuah! Laknat si Antasena!

KARNA: Apa maunya ia?

DURNA: Kerna ia Kasal Amarta, pasti punya tujuan politis. Demi kejayaan bangsa Pandawa! Ia mau menjadi penguasa samudra dan mengaku bergelar Sang Hyang Segara Rekayasa.

BALADEWA: Apa? Sang Hyang? Krrk-cuah! Edan! Si Antasena gila! Apa gelar itu ada dalam kitab, Prof?

DURNA: Ah, tiada! Semua pustaka telah dibaca. Pustaka Universitas Sokalima sampai Universitas Atasangin sudah saya teliti. Baik dalam kitab kuno model Tantu Panggelaran, Kitab Manik Maya, Kitab Paramayoga, Kitab Kanda, Kitab Sudamala, Kitab Nawaruci, Kitab Gatutkacasraya, Mahabarata, Ramayana, maupun kitab lain—tak ada gelar Sang Hyang Segara Reka-yasa. Sang Hyang gadungan! Palsu!

DURYUDANA: Jika begitu, gagalkan eksperimen si Antasena, tangkap dan adili!

SAKUNI: Jika Amarta melindungi?

DURYUDANA: Serbu!

“Setuju! Setuju! Setuju!” + “Ziplah!” + “B-beres!” + “OK!” + “Hidup Kurawa!” + “Hidup! Hidup! Hidup!…”


BALADEWA: Krrk-cuah! Tepat!

DURYUDANA: Baiklah, Jendral Baladewa—pimpinlah pasu-kan multinasional. Dan Letjen Karna harap memimpin pasukan Parakomando Astina.

BALADEWA: Siap!

KARNA: Siap!

“Pasukan Parakomando Operasi Samudra—siap gerak! Lapor: Dursasana, Dursala, Dursata, Durmuka, Durkarna, Dura-dara, Durwigata, Durmagati, Kartamarma, Kartipeya, Citragada, Citramarma, Citrakandala, Citrayuda, Citraksa, Citraksi, Aditya-ketu, Bimabahu, Dirgabahu, Dirgalacana, Dirgarama, Dreda-rata, Drepasastra, Drestahasta, Drepayuda Drepawarman,—siap bergerak!”
“Laksanakan!”
“Siap!”

Pertempuran samudra
Siapsergap Antasena

DASAR SAMUDRA.—Zona teritorial Amarta.

(BLAARR!)
“Krrk-cuah! Ranjo laknat!”
“Awas kapal slam!”

(BLAARR!)

ANTASENA: Hmh, Kurawa—jangan harap bisa mendobrak-porak hankam Amarta. Submarine Antaboga karyarekacipta Prof Dr Antaboga teramat handal. Aku Sang Hyang Segara Rekayasa lagi bereksperimentasi dalam Sea-Lab Oceanoculture demi masa depan bangsa. Siapa pun tak boleh masuk ke dalam Sea-Lab ini.

Gara-gara
Bumi gapai
Laut badai


TUMARITIS.—Dalam dukamala dunia, Panakawan pada berwawancanda.

“Excuse me, I’m Petruk Swayze. Dear Readres—how are you today? Fine? OK, so am I. Hehehe… ceritanya hujan nih: basah, bocor, becek! Ehm… Yun, Ren, Sis—ngapain? Ngeceng melulu! Kapan mejeng lagi di Matahari? Gantian! Ngampus kek, hehehe… gemana tuh Wayang Kampus ? Hura-hura aje! Bilangnya: aktivis! Ngilmiyah kek, hehehe… gak nyeni ah!”
“Omong ame siape, Truk?”
“To my fans, of course!”
“Huh, sok top! Sok pop!”
“Hehehe… emang kok! Eh, Gareng mana? Bang, si Gareng Mbeling udah dibikin belon? Cepet buru dimainin! Kan mau show—jangan cuma Bagong yang in action. Bosen!”
“Sentimen lu, Truk!”
“Harus! Nah, itu Gareng! Sini, Reng! Where’re ye from?”
“Show-biz!” + “Show off!”
“Zow, ngerti? Gak kaya lu: ngeceng melulu. Gak laku-laku!”
“Enak aje! Di sono gue observasi: meneliti perilaku budaya konsumerisme demi antisipasi bisnis masadepan. Kan asik!”
“O dasar Bagong Urban!”
“Udah! Pak Jun datang!”


ARJUNA: Kang Semar—Laksamana Antasena mesti dicari. Lama dia tak melapor ke Amarta.

SEMAR: Mari, Pak.

Arjuna dan Panakawan
Menembus jalan hutan

“E-e-babo-babo… Gog—ada p-penjelajah r-rimba Pringga-dingatala. S-siapa, Gog?
“Sst! Jendral Arjuna!”
“E-e-babo-babo… s-serbu!”—(Clap!)—“C-ciaat!”—(Dez! Zplak! Deb! Bugh!)—“Hugk-khoeekh uhuooo… m-mati a-aku, Gog!”—(Bruk!)
“Cakil mati, Lung!”
“Biarin saja, Gog!”
“Grr-babo-babo, keparat! Hadapi aku Dityakala Badai-segara! Heh, konco-konco: Pragalba, Rambut Geni, Padas Gempal, Jurangrawah, Buta Ijo, Buta Terong, Buta Endog—ayo keroyok si perwira keparat itu!”
“C’mon!” + “OK!” + “Move!”
“Satu, dua, tiga! Ciat! Ciat! Ciiaatt!”—(Blaarr!)—“Aduh! Ahk! Khk! Klk!”—(Blug! Blug! Blug!)
“Zuilah! Mampuz zemua!” + “Benal! Ayo lali, Mas!”
(Jleg!)—“Brenti!”
“Ziapa lu? O yez! Kenalin—gue Mr George! Yez, Mr Joz!”
“Busyet! Keren juga nih Buto—pake nama beken segala! Elu kalah, Reng.”
“Em… lu siape, Pelo?”
“Mistel Gabliel! Ayo pelgi ah! Usah ngulusin olang tak kaluan!”—(Bugh! Bugh!)—“Adow! Main pelmak lagi! Blantem-blantem, tapi spoltif! Ngawul’u!”
(Dor-dor!)—“Beres, Gong!”

Buta-buta mala
Pada sirnafana
Gentur tutur
Bangun catur
SEA-LAB OCEANOCULTURE.—Laksamana Antasena yang bergelar Sang Hyang Segara Rekayasa menggegerkan dunia berkat penemuan Sistem Hankam Dasar Samudra, serta Oceanomigration demi mengatasi masalah kepadatan pen-duduk masadepan dengan merekacipta Gedung Pencakar Laut. Eksperimentasi fantastik semodel itu menyebabkan pro dan kontra di seluruh penjuru dunia. Tidaklah gaib-ajaib jika Girinata, Presiden Sorgaloka, turun tangan.

GIRINATA: O Jagat Dewa Batara! Antasena—hentikan eksperimen itu! Usah mendahului karsa! Dan lepaskan gelar Sang Hyang yang kau sandang.

ANTASENA: Maaf, tidak bisa! Eksperimen bukan sekedar sok cendekia. Gelar bukan gagah-gagahan! Ini demi kehidupan.

GIRINATA: Babo-khhk-cuah! Kurang ajar! Apa kau tak takut pada pasukan multisemesta dari Jagat Triloka?

ANTASENA: Maaf, Tuan! Tidak!

GIRINATA: Keparat! Tangkap!

“Siap! Indra, Bayu, Brahma, Wisnu, Surya, Sambu, Kama-jaya, Yamadipati, Temboro, Trembuku—sergap si Antasena!”
“Siap! Siap! Siap! Siap!”
(BLAARR!)
“O Jagat Dewa Batara!” + “Mundur! Bayu Mundur!”
“Bergenzong-pada-ndoyong, si Antasena tak tertaklukkan! Benar-benar adidaya ia! Celaka! Ini urusan Ki Semar, Tuan!”
“Tuh Ki Semar datang!”


SEMAR: Ada apa, Tuan? Bakutempur sama Pak Antasena rupanya. Maaf, Maha Sang Hyang! Demi pranata alam—Sang Hyang Segara Rekayasa sebenarnya bergerak atas kuasa Sang Hyang Wenang. Nah, Pak Antasena—tugas telah sampai! Wenang mencipta, Wenang merekayasa, Wenang memelihara. Bukankah begitu, Maha Sang Hyang?

“Soal LBH—romo pakarnya!”
“LBH itu apaan sih, Truk?”
“LBH: Lakon Bangsa Hyang.”


SANG HYANG WENANG: Ki Semar benar! Manggayuh karahar-janing praja, memayu-hayuning bawana.

Petik bunga guna
Intisari merdeka



Semarang, 28 Mei 1991 Ki Harsono Siswocarito

Selengkapnya....
 
Creative Commons License
eXTReMe Tracker